Selasa, 09 Juni 2015






A. Pendahuluan
Khutbah para ulamanya memang enak didengar telinga
Namun, telah kehilangan api cinta yang sejati
Rambut mereka rontok disebabkan pikirannya berbelit-belit
Dan wajahnya kusut ditelan ilmu akhirat
Dulu para sufinya dikenal sebagai ksatria Tuhan
Yang tak kenal takut dan gentar
Tidak tertandingi pula dalam cinta dan ilmu makrifat
Namun, kini mereka berubah jadi pesilat lidah
Dan tukang khayal yang menyedihkan
Nyala api iman umat telah lama padam
Islâm kini tak lebih dari timbunan abu dingin dan gelap[1]
Dalam pandangan Quraisy Shihab, perintah “membaca”[2] yang terekam dalam wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw,[3] mengandung nuansa perintah agar dilakukan secara berulang-ulang[4] dan  "باسم ربك" untuk mencapai tahap penemuan pengetahuan dan wawasan baru.[5]  Dalam hal ini, Al-Râzî, menambahkan bahwa locus  "باسم ربك" dalam “membaca” merupakan sarana dalam memudahkan  “pembaca” mencapai pengetahuan dari apa yang “dibaca”[6]dan  sebagai bukti ketundukkan kepada Zat yang Maha Mengajarkan, kemudian dari segi lain “pembaca” bisa mencapai tahap “redefinisi” dari apa yang “dibaca”.[7]  Kemudian, meminjam perkataan Muslim ‘Āli Ja’far, proses dialektika (dalam tafsîr) ini akan membuka pintu “peradaban” yang di dalamnya terdapat “harta karun” yang berfungsi sebagai penjamin keberlangsungan kehidupan manusia yang penuh perdamaian, keselamatan dan kehormatan.[8] Dalam “bahasa” Fazlur Rahman, al-Qur’an merupakan “sebuah dokumen untuk umat manusia” yang ditujukan untuk mengkonstruksi sebuah tata kehidupan masyarakat yang adil, berdasarkan etika dan dapat eksis di muka bumi ini.[9] 
Dalam paradigm al-Jâbirî, secara ontologis al-Qur’an terbagi ke dalam tiga dimensi, yang satu sama lain memiliki kekhasan masing-masing. Pertama, Dimensi non-temporal/keabadian ( zamâniy)[10] yang tampak dalam relasi risalah Muhammad dengan risalah langit (al-risâlah al-samâwiyyah) yang dibawa para rasul terdahulu. Dengan perkataan lain, risalah Muhammad merupakan penerus risalah terdahulu. Kedua, Dimensi ruhani yang  terlihat dari “tempaan” proses penurunan wahyu Allah kepada Muhammad yang berjalan dengan penuh ketahanan dan kesabaran. Ketiga, Dimensi sosial-relijius yang tampak pada proses penyampaian risalah dari Muhammad kepada umatnya, beserta adanya segala konsekuensi atas proses penyampaian tersebut.[11] Dimensi sosial-relijius ini, dalam bahasa Nasr Hâmid Abȗ Zaid merupakan konstruk “ideal” bagi interaksi dan dialektika antara manusia (bangsa Arab) dengan realitas dan segala struktur yang membentuknya: ekonomi, politik, dan budaya di satu sisi, dan teks di sisi yang lain.[12] Dalam pandangan Nasr Hamid, Al-Qur’an telah melukiskan dirinya sebagai risalah (pesan).  Risalah merepresentasikan hubungan komunikasi antara pengirim dan penerima melalui kode (baca: sistem bahasa). Namun, karena Sang Pengirim—dalam konteks Al-Qur’an adalah Tuhan—mustahil dijadikan objek kajian ilmiah, maka pintu masuk yang relevan bagi kajian teks Al-Qur’an adalah realitas dan budaya. Dalam hal ini, realitas mengatur gerak manusia sebagai sasaran teks, serta mengatur penerima pertama teks, yaitu Rasul Saw. Sementara itu, budaya menjelma dalam bahasa.[13]
Nasr Hamid menambahkan, Al-Qur’an mempunyai posisi  Sentral dalam sejarah peradaban Arab, dan dalam menentukan watak dan wajah ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya. Dengan demikian, merujuk dari sudut pandang Nasr Hamid ini, terdapat perbedaan karakter di antara tiga peradaban besar dunia; Mesir, Yunani Klasik, dan Arab. Mesir merupakan perdaban “pascakematian”, Yunani Klasik merupaka peradaban akal, dan Arab merupakan peradaban teks.[14]
Berlandaskan pada hal tersebut, Nasr mengawali kajian teks Al-Qur’an. Beliau menempatkan teks Al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj al-tsaqafat), sekaligus memproduksi budaya (muntij li al-tsaqafat). Hal ini menurutnya terjadi dalam dua fase, 1) fase keterbentukan (marhalah al-tasyakkul) dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, yaitu ketika Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang melatarinya, di mana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya, dan 2) fase pembentukan budaya “baru” (marhalah al-tasykil), ketika teks Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan ulang sistem budayanya.[15]
Perspektif Nasr di atas, “diadopsi” dari konsep ke-azalian (eternity) Al-Qur’an dalam Lauh al-Mahfȗdz. Pandangan Nasr Hamid tentang keazalian al-Qur’an mendukung postulat Mu’tazilah. Lebih lanjut, dalam pandangan Nasr Hamid, Lauh al-Mahfȗdz tidaklah bersifat qadim-azali, namun sama dengan al-Arsy dan al-Kursyi yang diciptakan Tuhan.  Karena jika Lauh al-Mahfudz bersifat qadim-azali, maka akan terjadi paradoks antara  Dzat yang qadim, dan ini tidak mungkin. Dengan demikian, jika memang Lauh al-Mahfudz bersifat hadits (tercipta), maka Al-Qur’an yang tertulis di dalamnya tidak mungkin bersifat qadim.[16] Implikasi dari pandangan tersebut adalah Al-Qur’an bersifat hadîts dan makhluk karena al-Qur’an tidak termasuk sifat-sifat Dzat Tuhan yang azali, melainkan sifat-sifat tindakan Tuhan. Dengan demikian, dalam konsep Nasr Hamid, firman Tuhan yang berupa sifat-sifat tindakan Tuhan, merupakan fenomena sejarah. Sebab, semua tindakan Tuhan adalah tindakan “di dunia” yang tercipta dan hadîts.  Dengan perkata lain, bersifat historis. Demikian pula, Al-Qur’an merupakan fenomena sejarah karena merupakan salah satu manifestasi firman Tuhan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an merupakan manifestasi yang paling komprehensif. Oleh sebab itu, Nasr Hamid menambahkan, Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Histo­risitas teks, realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjuk­kan bahwa Al-Qur’an adalah teks manusiawi (nass insani).[17]
Dari latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangat konsep Nasr Hamid Abȗ Zaid tentang dalam menggali makna al-Qur’an. Hal ini, mengingat bahwa al-Qur’an menduduki posisi sentral dalam sejarah peradaban Arab yang notabenenya merupakan peradaban teks.
Konsep Tafsîr al-Qur’an Nasr Hâmid Abȗ Zayd
Al-Qur’an dalam keyakinan umat Islam merupakan kalâm Allah yang mempunayi sifat mu’jiz yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang ditulis dalam mushaf-mushaf  yang diriwayatkan secara mutawâtir dan bernilai ibadah ketika dibaca.[18] Al-Zarkasyî memaparkan adanya perbadaan pendapat di antara sarjana tafsir dalam penggunaan istilah tentang “penggalian” makna al-Qur’an antara tafsîr dan ta’wîl. Ia menukil al-Bajalî, bahwa term tafsir berhubungan erat dengan al-riwâyat sedangkan term ta’wîl berhubungan erat dengan al-dirâyat akan tetapi keduanya merujuk kepada pembacaan atas teks al-Qur’an.[19] Lebih lanjut, al-Bâqilânî menyatakan bahwa “penggalian” makna al-Qur’an yang paling tepat adalah “mendudukkan” makna-makna sesuai dengan penjelasan keadaan yang melingkupinya, apabila sudah jelas makna tersebut maka tetapkanlah tanpa adanya reduksi yang berupa penambahan atau pengurangan.[20] Hal ini, mempunyai implikasi doctrinal[21] dalam diri mufassir, kemudian menyebabkan adanya orientasi (ittijahât) “membaca” dalam naungan “panji”  "باسم ربك", para mufassir terpolarisasi ke dalam  dua kutub besar, tafsîr bi al-Ma’tsûr dan bi al-Ra’yi.[22] Hal ini bermula dari pertanyaan mengenai orientasi (ittijahât) penafsiran manakah yang paling benar, tepat dan legitimate, seperti yang dikemukakan oleh Fahd ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rumî.[23] Dalam hal ini, Fahd menukil Ibn Taimiyyah, bahwa orientasi penafsiran yang paling benar, tepat dan legitimate, adalah sebagai berikut; pertama, menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Kedua, menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabi Muhammad Saw. Ketiga, pendapat sahabat[24] yang merupakan generasi yang menyaksikan turunnya al-Qur’an. Keempat[25], pendapat tâbi’în.[26] Orientasi (ittijahât) ini kemudian dikenal dengan tafsîr bi al-Ma’tsûr yang disepakati oleh sarjana tafsîr menduduki posisi utama (al-Mu’tamad) sebagai sumber penafsiran.[27] Perihal perkembangan tafsîr bi al-Ma’tsûr, al-Dzahabî membagi kedalam dua periode (tatawwur), periode riwayat (tur al-Riwâyat), dan periode kodifikasi (tur al-Tadwîn).[28] Model penafsiran bi l-ma`tsûr[29] ini berkembang melalui “jalan” sistematisasi dan kodifikasi, dengan perluasan pembahasan sesuai dengan bab-bab tertentu dalam hadîts.[30] Kodifikasi yang terkenal adalah dilakukan oleh Mâlik ibn Anas.[31] Adapun  kitab-kitab tafsīr yang menggunakan model ini, antara lain; Tafsîr Ibn Jarîr,  Tafsîr Abî Layts al-Samarqandy,  Tafsîr al-Durar al-Ma'tsûr fi l-Tafsîr bi l-Ma'tsur (karya Jalaluddîn Al-Suyûthi),  Tafsîr Ibn Katsîr,  Tafsîr Al Baghâwy dan  Tafsîr Baqy ibn Makhlad, Asbâb al- Nuzûl (karya al-Wâhidî) dan Al-Nâsikh wa l-Mansûkh (karya Abû Ja'far An Nahhâs).[32] Dalam aplikasi epistimologis[33], tafsîr-tafsîr tersebut hanya menggali makna ayat Al-Qur’an dengan hadîs nabi, pendapat sahabat atau perkataan para tâbi’în, yang dalam perkembangannya tidak lagi membedakan riwayat yang sahih dan yang tidak.[34]
Dalam mengomentari perkembangan diskursur tafsîr al-Qur’an yang terekam dalam kitab-kitab ulȗm al-Qur’an dan ulȗm al-Tafsîr, Nasr Hamid, membagi trend penafsiran ke dalam dua kategori. Pertama,  konservatif merupakan trend penafsiran yang memisahkan antara teks dengan konteks situasi sejarah objektif. Pada perkembangan selanjutnya, trend ini mengubah teks menjadi sesuatu kesakralan (proses chosifikasi, tasyi’). Kedua,  reformatif merupakan trend penafsiran yang mengakomodir dialektika teks dengan kondisi social-keagamaan dalam lintasan sejarah objektif.[35] Abu Zayd berprinsip, bahwa pembaharuan adalah  dialektika antara unsur yang lama dan unsur kebudayaan kotemporer, dengan pengertian memperbaharuinya dan merumuskannya dengan bahasa yang sesuai  dengan masa sekarang. Dengan demikian, pembaharuan tersebut akan mengatasi krisis pada saat ini, yaitu pembaharuan yang menggabungkan antara unsur-unsur yang asli-otentik dengan unsur-unsur kontemporer”.[36]
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd : Teori Makna dan Signifikansi (الدلالة والمغزى) Serta Posisinya dalam Hermeneutika Barat
Nasr Hamid Abû Zayd menawarkan hermeneutika modern sebagai respons terhadap tradisi penafsiran teks klasik yang mengabaikan eksistensi penafsir. Sebagaimana telah disebutkan di atas, teori penafsiran Nasr Hamid Abû Zayd bersifat objektif-historis dari teks, yaitu bahwa proses penafsiran dan kegiatan pengetahuan secara umum selalu ditujukan untuk mengungkapkan berbagai kenyataan yang memiliki keberadaan objektif di luar horison subjek pembacaan. Apabila horison pembaca membatasi sudut pandangnya, maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap orientasi-orientasi subjek yang mengetahui. Hal ini berarti, bahwa pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya, didasarkan pada dialektika (جدلية) kreatif antara subjek dan objek.
و هذا معنى ان القرأة الحقة، والنشاط المعرفى الحق عموما، تقوم على الجدلية خصبة خلاقة بين الذات والموضوع. و هذه العلاقة تنتج التأويل على مستوى درس النصوص والظواهرعلى السواء
“Hal ini berarti bahwa pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya didasarkan pada dialektika yang produktif dan kreatif antara subjek dan objek. Hubungan ini menghasilkan interpretasi baik pada level pengkajian teks maupun terhadap fenomena.”[37]
Hermeneutika objektif-historis merupakan bentuk kritik terhadap pembacaan tendensius (talwîn). Sementara ideologisasi dihasilkan dari kecenderungan subjektif-oportunistik (al-Naz’ah aí-íâtiyah an-naf’iyah) dan telah menggugurkan sudut objektif teks dan historisitas teks, dan bentuk kritik terhadap kecenderungan positivistik-formalistik yang menyembunyikan orientasi-orientasi  ideologis di bawah jargon “objektif ilmiah” (الموضوعية العلمية). Hermeneutika objektif-historis Abû Zayd, merupakan gagasan kritis berdasarkan argumentasi melalui pendekatan linguistik melalui kritik sastra, karena  karakter bahasa  kitab  suci  dan historisitasnya dikaji melalui pendekatan linguistik yang dikonsepsikan oleh  Ferdinand de Saussure dan pendekatan makna yang dibahas oleh Hirsch. Konsep parole dan langue dalam  kategori semiotika  diterapkan untuk membahas al-Qur’ân sebagai parole dan teks sebagai langue.[38] Teori interpretasi Abû Zayd dipengaruhi oleh hermeneutika E.D. Hirsch.[39] Hirsch menjelaskan keberadaan pengarang di hadapan berbagai pendapat yang mengabaikannya.  Hirsch berpendapat bahwa pengabaian terhadap pengarang timbul dari konsep (imagination) yang menyatakan bahwa makna karya sastra akan berbeda dari satu kritikus ke kritikus yang lain, dari satu masa ke masa yang lain, bahkan menurut pengarangnya sendiri makna itu akan berbeda dari satu periode ke periode yang lain.[40]
Ahmad Hasan Ridwan berpendapat, untuk mengatasai problem yang dilematis ini, Hirsch membuat pembedaan atau pemisahan antara apa yang disebut makna (meaning) dan apa yang disebut magzâ (signifikansi). Dalam hal ini, Hirsch berpendapat bahwa signifikansi sebuah teks sastra terkadang berbeda-beda atau beragam, tetapi maknanya tetap satu. Hirsch menambahkan bahwa, adanya dua tujuan yang terpisah yang masing-masing terkait dengan dua bidang yang berbeda. Bidang dan tujuan kritik sastra adalah mencari  signifikansi teks sastra yang sesuai dengan satu masa tertentu, sedangkan teori penafsiran bertujuan untuk mencari makna teks sastra itu. Yang tetap adalah makna, yang dapat dicapai melalui analisa teks, sedangkan yang berubah-rubah adalah magzâ (signifikansi).[41]
Makna (dalâlah) terdapat dalam karya itu sendiri. Sedangkan signifikansi (magzâ) berdasarkan keberagaman jenis relasi yang ada antara teks dengan pembaca, Ketika makna teks dapat berubah sesuai dengan pengarangnya, maka sebenarnya yang dimaksud yang berubah adalah magzâ. Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pengarang mentransformasikan dirinya kepada pembaca sehingga merubah hubungan pengarang dengan teks.[42]
Makna yang dikehendaki pengarang berbeda dengan makna yang tersimpan dalam teks. Karenanya, menurut Nasir Hamid Abu Zayd sebagaimana juga pendapat Hirsch,  yang harus diperhatikan dalam teks adalah makna teks, bukan apa yang dikehendaki pengarang, atau apa yang dimaksudkannya, atau apa yang ingin diekspresikannya.[43] Lebih lanjut, Hirsch sependapat dengan Betti mengenai pentingnya fokus hermeneutika pada bidang kajiannya tentang makna teks agar sampai kepada tafsir objektif. Penafsir tidak memaksakan pendapatnya masuk ke dalam teks. Betti hendak mengembalikan hermeneutika pada keadaan alaminya, sebagaimana Scheleirmacher memfokuskannya pada usaha memahami teks. Baik Betti maupun Hirsch berpendapat bahwa filologi adalah metode yang paling ideal untuk menafsirkan teks.[44]
Dengan demikian, pemikiran hermeneutika Nasr Hamid Abȗ Zayd cenderung pada sintesa dari model keterpusatan kepada teks (text centered) dan keterpusatan pada penafsir (reader centered). Lahirnya makna tidaklah berasal dari teks itu semata-mata, akan tetapi melalui proses dialektika, antara teks dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi dari relasi antara teks dengan kebudayaan sebagai relasi dialektis yang saling menguatkan, dan satu sama lain mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan wacana, pemikiran dan ideologi. Akal pikiran manusialah yang melahirkan makna dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara. Sehingga otoritas itu dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.[45]
Dengan demikian, dalam menafsirkan teks, Nasir Hamid Abu Zayd bersifat dekonstruktif dengan menempatkan teks terpisah dari pengarangNya, dan dia istilahkan dengan kematian pengarang (maut al-muallif),[46] atau the death of author oleh Derrida.[47] Berikutnya, peran pemaknaan secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (reader centered), dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Salah satu karakteristik tipikal dari pengaruh sosio-kultural terhadap karakteristik Alquran bahwasanya dalam proses pembentukan teks, Alquran tidak bisa keluar dari kerangka kebudayaan bangsa Arab saat itu, misalnya, dengan pengaruh teks-teks syair bangsa Arab. Karakter dan corak suatu teks akan senantiasa menggambarkan dan merefleksikan struktur budaya ( bunyah as-saqâfah) dan alam pikiran ( state of mind) di mana ruang dan waktu teks tersebut dibentuk.[48] Ketika proses interaksi kebahasaan berlangsung, antara penutur dan penerima harus terdapat kerangka yang sama sebagaimana disebut di muka. Akan tetapi dalam realitas pragmatisnya hal itu sulit terjadi. Sebab proses komunikasi dalam bingkai bahasa adalah menyampaikan pesan dalam bentuk teks. Ini akan mengakibatkan terjadinya perbedaan antara “sistem/logika bahasa” dengan “sistem/logika teks” yang keduanya itu dibatasi oleh pesan dari ideologi si penutur. Sedangkan si penerima memiliki kemungkinan dengan sistem/logika bahasanya untuk membentuk “kerangka interpretatif” (al-ithâr at-tafsîrî) tersendiri terhadap pesan yang disampaikan si penutur. Melalui “sistem/logika teks”, ideologi si penerima masuk untuk memberikan penilaian. Pada tataran inilah kemudian terjadinya reduksi atau bahkan kemungkinan distorsi terhadap pesan, baik oleh penutur maupun penerima. Tentunya ini dapat juga terjadi ketika melakukan interpretasi terhadap teks al-Qur’an.
Oleh karena itu, dalam pandangang Nasr Hamid Abȗ Zayd, bahasa menjadi “pondasi” bagi sumber penafsiran dan penta`wilan.[49] Bahkan, Nasr Hamid menawarkan dan memperkenalkan bahasa sebagai pendekatan modern dalam memahami teks.[50] Dalam pendekatan modern, tugas hermeneutika tidak hanya menentukan prinsip-prinsip penafsiran umum, tetapi juga mengungkapkan cita-cita yang sesuai bagi penafsiran.[51] Lebih lanjut, Nasr Hamid mengkampanyekan kepada pembaca untuk me-review kembali asumsi-asumsi pembaca tentang apa itu “membaca”, “menafsirkan”, atau “memahami teks”. Fenomena ini kemudian melahirkan istilah baru dalam tradisi  penafsiran, yakni “pembacaan” (qirâ’at).[52] untuk menandai proses penemuan “makna”, sebuah ungkapan tulisan atau teks terdiri  atas pengarang, teks dan pembaca.[53]
Nasr Hamid Abȗ Zayd meminjam teori hermeneutika Barat E.D. Hirsch Jr.,[54] dalam memperkenalkan teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) dalam upaya memahami teks. Pembedaan antara makna dan signifikansi terdiri dari dua konsep. Pertama, makna memiliki watak historis, yaitu bahwa ia tidak mungkin diungkapkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal linguistik teks dan konteks sosial-budayanya, sementara signifikansi memiliki watak kekinian, yaitu bahwa ia merupakan hasil pembacaan yang berbeda dengan masa terbentuknya teks. Kedua, makna secara relatif memiliki watak yang stabil dan mapan, sementara signifikansi bersifat dinamis seiring dengan horison pembacaan yang terus berubah.[55]
Lebih lanjut, Nasr Hamid Abȗ Zayd mengklasifikasikan dalâlah dalam tiga tingkatan. Pertama, dalâlah yang merupakan saksi sejarah yang tak dapat dicarikan ta’wîl dan magzâ-nya,  masalah yang berkaitan dengan ayat-ayat perbudakan, hubungan muslim dan non muslim (ahl al-kitab), sihir, hasud, jin dan setan. Kedua, dalâlah yang dapat dita’wilkan dengan majâz, seperti  ayat-ayat kehambaan (‘ibâdiyah)  bukan penghambaan (‘ubûdiyah). Ketiga, dalâlah yang dapat diperluas dengan pencarian magzâ, seperti ayat-ayat kewarisan untuk wanita. Dari magzâ ini, teks dapat terus berkembang, sebagaimana Abû Zayd menjelaskan :
ثلاثة مستويات للدلالة فى النصوص الدينية : المستوى الاول مستوى الدلالات التى ليست الا شواهد تاريخية لا تقبل التأويل لمجازى أو غيره، والمستوى الثانى مستوى الدلالات القابلة للتأويل المجازى، المستوى الثالث مستوى الدلالات القابلة للاتساع على أساس “المغزىالذى يمكن اكتسافه من السياق الثقافىالاجتماعى الذى تتحرك فيه النصوص، ومن حلاله تعيد انتاج دلالتها
“tiga level makna dalam teks-teks agama. Level pertama adalah level makna yang hanya merupakan bukti-bukti historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis atau lainnya; level kedua adalah level makna  yang dapat diinterpretasi secara metaforis; dan level ketiga adalah level makna yang dapat diperluas atas dasar “signifikansi” yang dapat disingkapkan dari konteks kultur-sosial di mana teks-teks tersebut bergerak, dan melalui produktivitas makna dari teks-teks tersebut.”[56]
Pembedaan antara makna dan sigifikansi di dalam menginterpretasi teks bagaikan dua sisi mata uang. Hal itu berlangsung, karena signifikansi tidak terlepas dari sentuhan makna, sebagaimana signifikansi mengarah pada dimensi makna. Signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindakan pembacaan, maka tujuan tersebut dapat dicapai hanya melalui penyingkapan makna. Hermeneutika Abû Zayd dalam penilaian Ahmad Hasan Ridwan,[57] bermula dari proses pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik antara dalâlah dan magzâ, suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka mencari magzâ untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah) dengan cara penelusuran intelektual ke masa lalu (past time) untuk memasuki ruang-ruang historis. Teks muncul di masa lalu (past time), dan kembali ke masa kini (present time) untuk mendapatkan makna baru yang hidup (produktif). Nilai baru yang dimaksud adalah fusi horison untuk future yang hasilnya digunakan untuk membangun kembali magzâ secara terus menerus.[58]
Teori ta’wîl yang ditawarkan Abû Zayd merupakan proses gerak dialektis (gerak bandul) antara makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ), antara masa lalu dan masa kini, dan antara teks dan pembacanya. Gerak dialektis ini menghasilkan  pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik antara dalâlah dan magzâ, sebagai suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka mencari magzâ) untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah), ketika teks itu muncul di masa lalu, dan hasil temuan ini digunakan untuk membangun kembali magzâ dan begitu proses selanjutnya. Proses ini tidak boleh berhenti pada makna dalam pengertian historis partikularnya, tetapi proses ini harus menyingkapkan signifikansi magzâ yang memungkinkan untuk membangun pondasi kesadaran ilmiah atas dasar signifikansi tersebut.[59]
Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abȗ Zayd
Jika aplikasi teori hermeneutika Syahrûr dikenal dengan istilah inter-tekstualitas dengan teknik sintagmatis-paradigmatis untuk menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qur’ân,[60] dan Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement.[61] Kemudian Hermeneutika Arkoun berusaha untuk memilah dan menunjukkan mana teks pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutika,[62] dan kelihatannya dipengaruhi teori hermeneutika poststrukturalis Michel Foucault, sehingga ia menggunakan metode dekonstruksi dan analisa arkeologis.[63] Maka ,aplikasi teori Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ) sebagaimana dikemukakan sebelumnya dan contoh cara kerjanya sebagai berikut.
Poligami dalam wacana al-Qur’an mempunyai level makna ketiga, di mana pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abȗ Zayd berargumentasi sebagai berikut:
  1. Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk sosial dan kultural.
  2. meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan melakukan ini, Abȗ Zayd berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.
  3. Poligami dibolehkan dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islâm.[64]
PENUTUP
Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, variabel pemahaman manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang (author). Kedua, unsur teks (text). Ketiga, unsur pembaca (reader). Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic Structure. Dalam hal ini, Nasr Hamid Abȗ Zayd menawarkan hermeneutika historis objektif dalam menafsirkan teks-teks agama, yang semenjak abad pertengahan di dominasi oleh kalangan elit agama. Bahkan, sampai diproklamirkannya penutupan “kran-kran” ijtihâd yang berdampak kemunduran umat Islâm di tengah laju cepat perkembangan bangsa lain.




[1] Penggalan sya’ir Muhammad Iqbâl “Kepada Saqi, Pembawa Gelas Anggur”. Lihat M. Dawam Rahardjo, Islam dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bakti Prima Yasa, 2002), h. XVI
[2] Kata “membaca” dalam bahasa Arab adalah قرأ  merupakan perintah pertama kepada kepada Nabi Muhammad tersebut, tertulis pada ayat pertama surat al-‘Alaq Éy,n=y{7În/uÏ%©!$# Oó$$Î/ù&tø%$#. Lihat Badr al-Dīn Muhammad ibn ‘Abdullāh al-Zarkasyī, Al-Burhān fī ‘Ulum al-Qur’an, (tt), hlm. 206. Lihat juga Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīh al-Ghaib, (Beirut, Dār al-Fikr, 1981), jld. 32, hlm. 13
[3]M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawd’ī atas Pelbagai Persoalan Umat, hlm. 6
[4] Bandingkan dengan penjelasan Ibn ‘Âsyûr, bahwa secara etimologis kata tafsîr dalam pandangan al-Syâfi’iyyah merupakan bentuk masdar dari fassara yang berwazan fa’ala yang berfaidah li al-taktsîr. Lihat Muhammad al-Tâhir ibn  ‘Âsyûr, Tafsîr al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunis: Al-Dâr al-Tunisiyyah, 1984), Juz, 1, hlm,10
[5] M. Quraisy Shihab, Wawasan al-Qur’an: Tafsir Mawd’ī atas Pelbagai Persoalan Umat, hlm. 6
[6] juga Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr Mafātīh al-Ghaib, (Beirut, Dār al-Fikr, 1981), jld. 32, hlm. 14
[7] Muslim ‘Āli Ja’far, Manāhij al-Mufassirūn, (tt: Dar al-Ma’rifah, 1980), hlm. 8
[8] Abdullâah Syahâtah, ‘Ulûm al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001), hlm. 8.
[9] Ahmad Syukri Saleh, Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi: Sulthan Thaha Press, 2007), cet. 2, hlm 1-2
[10] Dalam konteks yang berbda, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî (544H- 606H/1149M-1210M),  menyoroti argumentasi Mu’tazilah yang menggunakan kejadian-kejadian dalam al-Quran, seperti kisah perang Badr, pengaduan perempuan tentang suaminya dan sebagainya untuk memperkuat bukti konsep ‘al-Qur’an adalah makhluk’.  Al-Râzî berpendapat bahwa jika kejadian-kejadian tersebut dipandang dari sisi huruf dan suara, maka beliau bersepakat dengan Mu’tazilah bahwa al-Qur’an merupakan makhluk, sebab dalam pandangan mereka al-Qur’an tidak lain hanyalah susunan huruf dan suara, sehingga argumentasi yang mereka utarakan hanyalah berkisar pada temporalnya (hudËth) huruf dan suara tersebut. Sedangkan pandangan Ahlu al-Sunnah tentang qadÊm-nya al-Quran bukan dari sisi ini, tapi dari sudut pengertian lain. Lihat Al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), juz I, h. 70
[11] Al-Jâbirî, Madkhal ilâ l-Qur`ân al-Karîm, h. 25.
[12] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h. 9
[13] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h. 12
[14] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h. 10
[15] Nasr Hamid Abȗ Zayd, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., hlm. 20
[16] Nasr Hamid Abȗ Zayd, al-Nass wa al-Sulthah wa al-Haqîqah, penerjemah Sunarwoto, (Yogyakarta: Dema, LkiS, Yogyakarta, 2003), hlm. 92. Lebih lanjut, Abȗ al-Hudhail al-Allâf (131H-226H), berpendapat bahwa Allâh menciptakan al-Qur’an di Lauh al-Mafȗdh yang masih berbentuk ‘arad. Kemudian, Allah menampakkannya melalui tiga tempat; di tempat dia dijaga, di tempat dia ditulis dan di tempat dia dibaca dan didengar. Lihat Abd al-Rahmân Badawî, Madhâhib al-Islâmiyyîn, vol. I, Dâr al-Ilm li al-Malîyîn, Beirut, hal. 164-168 dan hal. 300. Kemudian Pendapat al-Allâf tersebutmendapat dukungan dari Khalifah al-Makmȗn (w. 218 H), dengan menafsirkan surat al-Burȗj: 21-22 (Bahkan dia adalah al-Qur’ân yang mulia, yang tersimpan di Lauh al-Mahfȗdh), bahwa sesungguhnya perkataan “Lauh” yang mendindingi al-Qur’Én mengandung pengertian “khalq” (temporal). Lihat  Al-Ùabari (w.310H), Târikh al-Umam wa al-Muluk, vol. XI, hal. 1125-1131. Lebih lanjut, konsep Mu’tazilah mendapatkan respon dari kalangan As’ariyyah.  Al-Imâm al-Asy’arî menyatakan: “Jikalau al-Qur’an itu makhluk (diciptakan), pasti tidak lepas dari tiga hal. Pertama, Allah menciptakan al-Qur’an dalam diri-Nya. Kedua,  Allah  menciptakannya secara independent (berdiri-sendiri). Ketiga, Allah menciptakannya di luar diri-Nya.Yang pertama tidak bisa diterima oleh akal. Allah tidak mungkin menciptakan al-Qur’an dalam diri-Nya, sebab diri-Nya bukanlah tempat (mahallun) untuk al-hawÉdith (hal-hal yang bersifat temporal). Yang kedua juga mustahil. Al-Quran tidak mungkin diciptakan secara independen, sebab al-Qur’an adalah Kalam Allah,  dan Kalam adalah sifat yang keberadaannya tidak mungkin berdiri sendiri. Yang ketiga pun tidak mungkin. Bahwa Al-Qur’an diciptakan di luar diri-Nya. Jika begitu, berarti Allah menciptakan al-Qur’an dalam sebuah organ atau benda lain di luar diri-Nya. Jika al-Qur’an itu berbentuk perintah, berarti organ tersebut bersifat memerintah, dan bila berbentuk ancaman maka dia juga bersifat mengancam. Demikian seterusnya. Maka sangat mustahil bila Allah hanya dapat berfirman, memerintah atau memberikan janji dan ancaman melalui perantara sebuah organ atau benda yang diciptakan di luar diri-Nya, yang dengan benda itu Allah baru bisa berfirman atau memerintah. Lihat  Al-Imâm Abȗ al-Hasan al-AÎ’As’arî, Al-Lumâ’ fî al-Radd al- Ahl al-Zaigh wa al-Bidâ’, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1955), hlm. 64-65
[17] Louis Berkhof,  A Summary of Christian Doctrine, (London: The Banner of Truth Trust, 1978), h. 16-17
[18]Muhammad al-Sibâgh, al-Qur’an wa ‘Ulûmuh, (Beirut: al-Maktab al-‘Islâmî, 1974), hlm.6
[19] Muhammad ibn ‘Abdullâh al-Zarkasyî, Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’an, hlm 150
[20] Abû Bakar Muhammad Ibn al-Thayyib al-Bâqillânî, I’jâz al-Qur`ân, (al-Qâhirah: Dâr al-Ma’ârif, t.th), hlm. 143
[21] Dalam hal ini, al-Qur’an dipandang dalam konteks “hidup mengiringi zaman”. Oleh karena itu, dengan berbagai perkembang yang mengiringi kehidupan mufassir, maka mempengaruhi juga kecenderungan mereka dalam menfasirkan al-Qur’an diberengi dengan perkembangan relitas yang mereka hadapi. Lihat Muhammad Mustâfa al-Marâghî, Tafsîr al-Marâghî, (Mesir: Mustâfa al-Bâbî al-al-Hali, ttp), Juz 1, hlm. 3
[22] Lihat Abd al-Qâdir Mansûr, Mausûat ‘Ulûm al-Qur’an, (Suriyah: Dâr al-Qalam al-Arabî, 2002), hlm. 186-187.
[23] Fahd ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rumî, Manhaj al-Madrasat al-‘Aqaliyyat al-Hadîtsat fî al-Tafsîr, (Riyadh: tt, 1983), juz 1, hlm. 16
[24] Penjelasan Nabi kepada sahabat yang kemudian diabadikan oleh para sahabat dalam hadis-hadis dengan redaksi yang bermuatan penjelasan tentang makna-makna Al-Qur’an. Terkait kapasitas para sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an, terdapat perbedaan-perbedaan yang menyebabkan mereka berbeda dalam memahami suatu ayat dalam al-Qur’an. Lihat Fahd ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rumî, Manhaj al-Madrasat al-‘Aqaliyyat al-Hadîtsat fî al-Tafsîr, (Riyadh: tt, 1983), juz 1, hlm. 24. al-Dzahabî menanmbahkan, trend penafsiran sahabat belum mencapai keseluruhan bagian Al-Qur’an (atomistik), terbatas hanya pada ayat-ayat yang pernah dijelaskan oleh Nabi, ditambah dengan beberapa pandangan (ijtihad)[24] mereka sendiri, seperti pada tafsir Ibn Abbâs yang kita temui saat ini. Bentuk penafsiran seperti inilah yang disebut sebagai Tafsîr bi l-ma’tsûr atau Tafsîr bi al-Riwāyat. Lihat Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa l-Mufassirûn, hlm. 5. Pada perkembangan tafsîr periode sahabat, muncul beberapa tokoh sahabat yang aktif dalam kegiatan penafsiran Al-Qur’an. Antara lain; Abû Bakar as-Shiddîq, ‘Umar ibn al-Khaththâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân,’Alî ibn Abî Thâlib, Ibn Mas’ûd, Ibn ‘Abbâs, Ubay ibn Ka’b, Zayd ibn Tsâbit, Abû Mûsâ al-Asy’arî dan Abdullâh ibn Zubayr. Lihat Muhammad ibn ‘Alwī al-Mālikī al-Hasanī, Al-Qawāid al-‘Asāsiyyah fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Makkah: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wataniyyah, 1419 H), hlm. 164.
[25]Model penafsiran bi l-ma’tsûr dari generasi sahabat, kemudian diadopsi oleh murid-murid mereka—dari generasi tabiin--meskipun kita hanya mengetahui serpihan khasanah tafsīr dari generasi tabiin melalui nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab bi l-ma`tsûr. Namun kita patut bersyukur bahwa merekalah pembuka jalan bagi Ibn Jārir al-Tabarī yang banyak mengadopsi metode mereka dalam menulis kitab tafsīrnya. Lihat Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 24-25. Pada masa generasi ini, pengajaran tafsîr berpusat pada tiga madrasah terbesar yang terdapat di kota Makkah, Madinah dan Irak. Lihat Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 12-13. Para tabiin yang belajar di madrasah ahl Makkah, yaitu Mujâhid, ‘Atâ` ibn Abî Rabâh,’Ikrimah Mawlâ Ibn Abbâs, Sa’îd ibn Jubayr, dan Thâwus belajar kepada Ibn Abbâs. Sementara itu, para tabiin yang belajar di madrasah Madinah berguru kepada Ubay ibn Ka’ab. Di antara tabiin yang belajar di Madinah adalah Zayd ibn Aslam, Abdurrahmân, dan Mâlik ibn Anas al-Ashbahî. Dan terakhir, madrasah Iraq, di bawah bimbingan sahabat Ibn Mas’ûd, melahirkan salah satu komunitas eksponen generasi emas tabiin. Antara lain; Qatâdah ibn Du’âmah, Abû Sa’îd al-Hasan al-Basrî dan ‘Athâ` ibn Abî Muslim. lihat Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur`ân, (Bairût: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), hlm. 452.
Fahd ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rumî, Manhaj al-Madrasat al-‘Aqaliyyat al-Hadîtsat fî al-Tafsîr, (Riyadh: tt, 1983), juz 1, hlm. 16-17
[27] Abdullâh Syahâtah, ‘Ulûm al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001), hlm. 29
[28] Periode periwayatan tafsîr bi al-Ma’tsûr dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw., ketika beliau menerangkan ayat al-Qur’an yang maknanya masih samar di benak para sahabat, kemudian para sahabat meriwayatkan kepada sahabat lain yang tidak langsung mendengar dari Nabi, dan masa periwayatan ini bermuara pada zaman tâbi’în yang meriwayatkan dari para sahabat. Adapun periode kodifikasi tafsîr bi al-Ma’tsûr ini berbarengan dengan kodifikasi ilmu-ilmu ke-Isalaman lainnya. Dalam periode ini, tafsîr bi al-Ma’tsûr masih menyatu dalam kitab hadîs. Lihat  Muhammad Husain al-Dzahabī,’Ilm al-Tafsīr, (kairo: Dār al-Ma’ārif, tt), hlm. 22-23
[29]  Sebagaimana yang terdapat dalam Muqaddimah Tafsīr Ibn Katsīr penafsiran bi l-ma`tsûr dapat dirusmuskan sebagai penafsiran yang berpijak kepada al-Qur’an sendiri, hadīts Nabi dan pendapat sahabat. Lihat Muhammad ibn Lutfī al-Sibāgh, Lumhāt fī ‘Ulūm al-Qur’an wa Ittijahāt al-Tafsīr, (Beirut; Al-Maktab al-‘Islāmī, 1990), hlm. 206
[30] Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa l-Mufassirûn, hlm. 5.
[31] Hamîd al-Hamr, al-Imâm Mâlik Mufassiran Radliyallâh ‘Anhu, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1995), hlm. 10.
[32] al-Zarqânî, Manâhil al-‘Irfân, J. 2, hlm. 22.
[33] Epistimologi yang dimaksud adalah bayāni, menurut epistimologi salah satu aspek yang membentuk pengetahuan adalah bahasa. Dalam hal ini, seperti dikemukakan oleh ulama usul al-Fiqh bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari esensi al-Qur’an. Lihat Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī, (Beirut: Markaz Dirāsat al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989), hlm. 122
[34] Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa l-Mufassirûn, hlm. 5.
[35]Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h. 13-16
[36] Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h. 16
[37] Nasr Hamid Abȗ Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî, (Mesir: Sina lial-Nasr,1994), hlm. 115
[38] Ferdinand de  Saussure membedakan parole dan langue. Parole adalah penggunaan bahasa secara individual dan langue adalah bahasa yang dipilih dari kamus umum. Panuti  Sudjiman dan A. Van Zoest, Serba-Serbi Semiotika (jakarta: Gramedia, 1992), h. 57 dan lihat; Nasr Hamid Abȗ Zayd,  Naqd al-Khitâb al-Dînî…, hlm. 193
[39] E.D. Hirsch digolongkan sebagai penganut pemikiran Radical Historicism. Dwight Poggemiller, “Hermeneutics and Epistemology: Hirsch’s Author Centered Meaning, Radical Historicism and Gadamer’s Truth and Method”, Premise Journal, vol II, no. 8/ September 27, 1995, h. 10
[40] Nasr Hamid Abȗ Zayd, Isykâliyah al-Qira’ah wa Â’liyâh at-Ta’wîl, (Beirut: markaz as-Saqafî al-‘Arabî, 1992) hlm. 48
[41] Ahmad Hasan Ridwan, Jejak Hermeneutika Dalam Islamic Studies, (http://ahasanridwan. wordpress. com/2008/02/23/jejak-hermeneutika-dalam-islamic-studies/2009), h. 12
[42] Abû Zayd  mejelaskan lebih lanjut dari teori Hirsch dengan tiga level makna suatu pesan yaitu: (1) Makna  yang hanya menunjuk kepada bukti atau fakta historis yang tidak dapat diinterpretasikan secara metaforis; (2) Makna  yang menunjuk kepada bukti atau fakta sejarah yang dapat diinterpretasikan secara metaforis; (3) makna yang dapat diperluas berdasarkan signifikansi yang diungkap dari konteks sosio-kultural tempat teks muncul. Nasr Hamid Abȗ Zayd, Naqd…,  hlm. 210
[43] Nasr Hamid Abu Zayd, Isykâliyah al-Qira’ah wa Â’liyâh at-Ta’wîl….., hlm. 48
[44] Ahmad Hasan Ridwan……, hlm. 13
[45] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm.113
بل ان الحاحها على انفصال النص عن مؤلفه و عن عصره والواقع الذى أنتجه، لدرجة  أنها بشرتنا بعصر “موت المؤلف” جعلها تبنى للنصوص عالما مستقلا له قوانينه الخاصة. انها نظرية النقد الجديد، خلعت مسرحها القديمة واستبد لت القارىء بالمبدع، وأليات القرأة و التأويل بأليات الابداع و التشكيل
[46] Simon Critchley dan Timothy Mooney, “Deconstruction and Derrida”, dalam Richard Kearney (ed.), Twentieth-Century Continental Philosophy (london: Routledge, 1994), vol. VIII, h. 445
[47] Polemik mengenai persoalan tersebut terjadi di Mesir, misalnya yang terjadi dengan Thâhâ Husein. Lihat Mustafâ Sâdiq Râfiq, Tahtâ Râyah al-Qur’an, (Bairut: Dâr al-Ktâb al-‘Arabî, 1974), hlm. 72. Leonard Binder, Islamic Liberalism: A Qritique of Development Ideologies, (London: Oxford University Press, 1988) hlm. 186; Albert Hourani, Arabic Thought in The Liberal Age 1798-1939, (London: Oxford University Press, 1962), h. 222-224; David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt, Gila Svirski, (Great Britain: Frank Cass& Lo. LTD., 1995); serta J. Brugman, An Introduction to The History of Modern Arabc Literature in Egypt, (Leiden: E.J. Brill, 1984), hlm. 338-379
[48] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 198
[49] Nasr Hamid Abȗ Zayd, Al-Tafkîr fî Zamân al-Takfîr: Lî al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurâfah, (Kairo: Maktabah al-Madbûlî al-Mishriyyah, 1995), hlm. 138
[50] Grant T. Osborne, Hermeneutical Spiral, (Downer: Grove University Press, 1991), hlm. 366-374
[51] Anthony C. Thiselton, New Horizon in Hermeneutics ,(Michigan: Grand Rapids, 1992), hlm. 2-3
[52] Ahmad Hasan Ridwan…, hlm. 14
[53] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 186
[54] E.D. Hirsch, Jr, validity in Interpretation (New haven and London: Yale University Press, 1967/1978), hlm. 8
[55] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 218
[56] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 203
[57] Ahmad Hasan Ridwan….., hlm. 16
[58] Di antara kunci penting dalam hermeneutika Gadamer adalah fusi cakrawala (horisontverchnlzubg) sebagai bagian integral dari situasi hermeneutik. Cakrawala adalah tebaran pandangan yang merangkum dan mencakup segala hal yang dapat dilihat dari suatu titik pandang. Yang dimaksud titik pandang bukanlah pandangan fisikal, tetapi pandangan mental atau kejiwaan. Gadamer membedakan cakrawala historikal dan cakrawala masa kini. Cakrawala historikal adalah prasangka-prasangka yang membentuk ekspektasi-ekspektasi tentang masa lalu. Sedangkan, cakrawala masa kini adalah prasangka-prasangka yang kita bawa. Prasangka tersebut selalu hidup bersama tradisi yang membentuk horison interpreter secara partikular dan berkelanjutan. Tradisi (teks) yang menempati past time dan sesuatu yang baru (interpreter) yang menempati present time selalu terus menerus bersama dan membuat suatu nilai yang hidup (produktif bukan reproduktif). Nilai hidup tersebut yang dimaksud adalah fusi horison untuk future. Ketika reader yang berada pada situasi kekinian ( present time) yang melebur dengan teks dalam effective-history suatu momen produktif, maka bersama dengan horison obyek akan menjadi fusi horison ke arah masa depan. Gadamer, Truth and Method (New York: Seabury Press,1975), hlm. 273
[59] Ahmad Hasan Ridwan……, hlm. 16
[60]Sintagmatis-paradigmatis yakni dengan cara menggabungkan ayat-ayat al-Qur’ân yang memiliki titik persinggungan dan persamaan tema dalam surat-surat yang berbeda. Teknik sintagmatis bertujuan untuk menentukan makna yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, setiap kata pasti dipengaruhi oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Adapun tujuan analisis paradigmatis adalah pencarian dan pemahaman terhadap sebuah konsep-konsep dari simbol-simbol lain baik yang mendekati maupun yang berlawananMuhammad Syahrûr, lihat Muhammad Syahrûr, Islam dan Iman : Aturan-aturan Pokok, terj. Sabrur R. Soenardi (Yogyakarta: Jendela, 2002), hlm. xx
[61] Teori double movement menjelaskan penafsiran dua arah, yaitu melakukakan ziarah pemahaman terhadap lahirnya teks di masa lampau dengan memahami benar kondisi saat ini, dengan merumuskan visi al-Qur’ân yang utuh dan membawa kembali ke masa sekarang dengan menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi sekarang. Secara praktis gagasan Rahman tersebut  tercakup pada dua langkah: pertama, orang harus memahami makna pernyataan al-Qur’ân dengan mengkaji latar belakang historis ketika sebuah ayat diturunkan, dan memahami makna al-Qur’ân sebagai keseluruhan di samping jawaban-jawaban khusus.Kedua, adalah melakukan generalisasi respons-respons khusus dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan moral-sosial umum yang dapat disarikan dari ayat-ayat spesifik dan rasio logisnya. Jika langkah pertama adalah berangkat dari persoalan-persoalan spesifik dalam al-Qur’ân untuk dilakukan penggalian dengan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai, dan tujuan-tujuan jangka panjang, maka langkah kedua harus dirumuskan dan direlasikan pada saat sekarang. Kedua langkah pemahaman al-Qur’ân tersebut sebagaimana digagas Rahman  dapat membuktikan bahwa perintah-perintah al-Qur’ân akan menjadi hidup dan efektif kembali. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm. 7-8
[62] Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islâmî : naqd wa al-Ijtihâd, terj. Hasyim Shalih (London: dâr al-Saqi, 1990), hlm. 232
[63] Analisa arkeologi dimaksudkan untuk mengklarifikasi sejarah teks-teks hermeneutika dari tradisi pemikiran tertentu, yaitu memperjelas dengan membersihkan kabut ruang dan waktu yang menyelubunginya sehingga akan terlihat hubungan antara teks-teks dari fase sejarah tertentu dengan konteks sosial, generasi serta gerakan-gerakan pemikiran yang beragam dan berada dalam waktu yang samaArchaelogy describes discourse as practices specified in the element of  the archive. Lihat, Michel Foucault, The Archaelology of Knowledge (London: Routledge, 1991), hlm.131-233-4.
[64] Ichwan, Nur, Moch. Meretas Kesarjaan Kritis Alquran, Teori hermenutika Nasr Abu Zayd, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 86-91