A. Pendahuluan
Khutbah para ulamanya memang enak
didengar telinga
Namun, telah kehilangan api cinta
yang sejati
Rambut mereka rontok disebabkan
pikirannya berbelit-belit
Dan wajahnya kusut ditelan ilmu
akhirat
Dulu para sufinya dikenal sebagai
ksatria Tuhan
Yang tak kenal takut dan gentar
Tidak tertandingi pula dalam
cinta dan ilmu makrifat
Namun, kini mereka berubah jadi
pesilat lidah
Dan tukang khayal yang
menyedihkan
Nyala api iman umat telah lama
padam
Islâm kini tak
lebih dari timbunan abu dingin dan gelap[1]
Dalam pandangan Quraisy
Shihab, perintah “membaca”[2]
yang terekam dalam wahyu yang pertama kali turun kepada Nabi Muhammad Saw,[3]
mengandung nuansa perintah agar dilakukan secara berulang-ulang[4]
dan "باسم ربك" untuk mencapai tahap penemuan pengetahuan
dan wawasan baru.[5] Dalam hal ini, Al-Râzî, menambahkan bahwa locus "باسم ربك" dalam “membaca” merupakan sarana dalam memudahkan “pembaca” mencapai pengetahuan dari apa yang
“dibaca”[6]dan sebagai bukti ketundukkan kepada Zat yang
Maha Mengajarkan, kemudian dari segi lain “pembaca” bisa mencapai tahap
“redefinisi” dari apa yang “dibaca”.[7] Kemudian, meminjam perkataan Muslim ‘Āli Ja’far,
proses dialektika (dalam tafsîr) ini akan membuka pintu “peradaban” yang
di dalamnya terdapat “harta karun” yang berfungsi sebagai penjamin
keberlangsungan kehidupan manusia yang penuh perdamaian, keselamatan dan
kehormatan.[8] Dalam
“bahasa” Fazlur Rahman, al-Qur’an merupakan “sebuah dokumen untuk umat manusia”
yang ditujukan untuk mengkonstruksi sebuah tata kehidupan masyarakat yang adil,
berdasarkan etika dan dapat eksis di muka bumi ini.[9]
Dalam paradigm al-Jâbirî, secara
ontologis al-Qur’an terbagi ke dalam tiga dimensi, yang satu sama lain memiliki
kekhasan masing-masing. Pertama, Dimensi non-temporal/keabadian (lâ zamâniy)[10]
yang tampak dalam relasi risalah Muhammad dengan risalah langit (al-risâlah
al-samâwiyyah) yang dibawa para rasul terdahulu. Dengan perkataan
lain, risalah Muhammad merupakan penerus risalah terdahulu. Kedua,
Dimensi ruhani yang terlihat dari
“tempaan” proses penurunan wahyu Allah kepada Muhammad yang berjalan
dengan penuh ketahanan dan kesabaran. Ketiga, Dimensi sosial-relijius yang
tampak pada proses penyampaian risalah dari Muhammad kepada umatnya, beserta
adanya segala konsekuensi atas proses penyampaian tersebut.[11]
Dimensi sosial-relijius ini, dalam bahasa Nasr Hâmid Abȗ Zaid
merupakan konstruk “ideal” bagi interaksi dan dialektika antara manusia (bangsa
Arab) dengan realitas dan segala struktur yang membentuknya: ekonomi, politik,
dan budaya di satu sisi, dan teks di sisi yang lain.[12]
Dalam pandangan Nasr Hamid, Al-Qur’an telah melukiskan dirinya sebagai risalah
(pesan). Risalah merepresentasikan hubungan komunikasi antara
pengirim dan penerima melalui kode (baca: sistem bahasa). Namun, karena Sang
Pengirim—dalam konteks Al-Qur’an adalah Tuhan—mustahil dijadikan objek kajian
ilmiah, maka pintu masuk yang relevan bagi kajian teks Al-Qur’an adalah
realitas dan budaya. Dalam hal ini, realitas mengatur gerak manusia
sebagai sasaran teks, serta mengatur penerima pertama teks, yaitu Rasul Saw.
Sementara itu, budaya menjelma dalam bahasa.[13]
Nasr Hamid menambahkan, Al-Qur’an mempunyai posisi Sentral dalam sejarah peradaban Arab, dan
dalam menentukan watak dan wajah ilmu-ilmu yang berkembang di dalamnya. Dengan
demikian, merujuk dari sudut pandang Nasr Hamid ini, terdapat
perbedaan karakter di antara tiga peradaban besar dunia; Mesir, Yunani Klasik,
dan Arab. Mesir merupakan perdaban “pascakematian”, Yunani Klasik merupaka
peradaban akal, dan Arab merupakan peradaban teks.[14]
Berlandaskan pada hal tersebut, Nasr mengawali
kajian teks Al-Qur’an. Beliau menempatkan teks Al-Qur’an sebagai produk budaya (muntaj
al-tsaqafat), sekaligus memproduksi budaya (muntij li al-tsaqafat).
Hal ini menurutnya terjadi dalam dua fase, 1) fase keterbentukan (marhalah
al-tasyakkul) dalam kurun waktu lebih dari 20 tahun, yaitu ketika Al-Qur’an
membentuk dan mengkonstruksikan diri secara struktural dalam sistem budaya yang
melatarinya, di mana sistem bahasa merupakan salah satu bagiannya, dan 2) fase
pembentukan budaya “baru” (marhalah al-tasykil), ketika teks
Al-Qur’an membentuk dan mengkonstruksikan ulang sistem budayanya.[15]
Perspektif Nasr di atas, “diadopsi” dari konsep
ke-azalian (eternity) Al-Qur’an dalam Lauh al-Mahfȗdz.
Pandangan Nasr Hamid tentang keazalian al-Qur’an mendukung
postulat Mu’tazilah. Lebih lanjut, dalam pandangan Nasr Hamid, Lauh
al-Mahfȗdz tidaklah bersifat qadim-azali, namun sama dengan al-Arsy
dan al-Kursyi yang diciptakan Tuhan. Karena jika Lauh
al-Mahfudz bersifat qadim-azali, maka akan terjadi paradoks antara Dzat yang qadim, dan ini tidak mungkin.
Dengan demikian, jika memang Lauh al-Mahfudz bersifat hadits
(tercipta), maka Al-Qur’an yang tertulis di dalamnya tidak mungkin bersifat qadim.[16]
Implikasi dari
pandangan tersebut adalah Al-Qur’an bersifat hadîts dan makhluk
karena al-Qur’an tidak termasuk sifat-sifat Dzat Tuhan yang azali,
melainkan sifat-sifat tindakan Tuhan. Dengan demikian, dalam konsep Nasr
Hamid, firman Tuhan yang berupa sifat-sifat tindakan Tuhan, merupakan
fenomena sejarah. Sebab, semua tindakan Tuhan adalah tindakan “di dunia” yang
tercipta dan hadîts.
Dengan perkata lain, bersifat historis. Demikian pula, Al-Qur’an
merupakan fenomena sejarah karena merupakan salah satu manifestasi firman
Tuhan. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Al-Qur’an merupakan manifestasi yang
paling komprehensif. Oleh sebab itu, Nasr Hamid menambahkan,
Al-Qur’an adalah teks historis (a historical text). Historisitas teks,
realitas dan budaya sekaligus bahasa, menunjukkan bahwa Al-Qur’an adalah teks
manusiawi (nass insani).[17]
Dari
latar belakang di atas, penulis tertarik untuk mengangat konsep Nasr Hamid
Abȗ Zaid tentang dalam menggali makna al-Qur’an. Hal ini, mengingat bahwa
al-Qur’an menduduki posisi sentral dalam sejarah peradaban Arab yang
notabenenya merupakan peradaban teks.
Konsep
Tafsîr al-Qur’an Nasr Hâmid Abȗ Zayd
Al-Qur’an dalam
keyakinan umat Islam merupakan kalâm Allah yang mempunayi sifat mu’jiz
yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang ditulis dalam mushaf-mushaf yang diriwayatkan secara mutawâtir
dan bernilai ibadah ketika dibaca.[18]
Al-Zarkasyî memaparkan adanya perbadaan pendapat di antara sarjana tafsir dalam
penggunaan istilah tentang “penggalian” makna al-Qur’an antara tafsîr
dan ta’wîl. Ia menukil al-Bajalî, bahwa term tafsir berhubungan
erat dengan al-riwâyat sedangkan term ta’wîl berhubungan
erat dengan al-dirâyat akan tetapi keduanya merujuk kepada
pembacaan atas teks al-Qur’an.[19]
Lebih lanjut, al-Bâqilânî menyatakan bahwa “penggalian” makna al-Qur’an yang
paling tepat adalah “mendudukkan” makna-makna sesuai dengan penjelasan keadaan
yang melingkupinya, apabila sudah jelas makna tersebut maka tetapkanlah tanpa
adanya reduksi yang berupa penambahan atau pengurangan.[20]
Hal ini, mempunyai implikasi doctrinal[21]
dalam diri mufassir, kemudian menyebabkan adanya orientasi (ittijahât)
“membaca” dalam naungan “panji” "باسم
ربك", para mufassir
terpolarisasi ke dalam dua kutub besar, tafsîr
bi al-Ma’tsûr dan bi al-Ra’yi.[22]
Hal ini bermula dari pertanyaan mengenai orientasi (ittijahât)
penafsiran manakah yang paling benar, tepat dan legitimate, seperti yang
dikemukakan oleh Fahd ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rumî.[23]
Dalam hal ini, Fahd menukil Ibn Taimiyyah, bahwa orientasi penafsiran yang
paling benar, tepat dan legitimate, adalah sebagai berikut; pertama,
menafsirkan al-Qur’an dengan al-Qur’an. Kedua, menafsirkan al-Qur’an
dengan sunnah Nabi Muhammad Saw. Ketiga, pendapat sahabat[24]
yang merupakan generasi yang menyaksikan turunnya al-Qur’an. Keempat[25],
pendapat tâbi’în.[26]
Orientasi (ittijahât) ini kemudian dikenal dengan tafsîr bi
al-Ma’tsûr yang disepakati oleh sarjana tafsîr menduduki posisi
utama (al-Mu’tamad) sebagai sumber penafsiran.[27]
Perihal perkembangan tafsîr bi al-Ma’tsûr, al-Dzahabî membagi kedalam
dua periode (tatawwur), periode riwayat (tur al-Riwâyat),
dan periode kodifikasi (tur al-Tadwîn).[28]
Model penafsiran bi l-ma`tsûr[29]
ini berkembang melalui “jalan” sistematisasi dan kodifikasi, dengan perluasan
pembahasan sesuai dengan bab-bab tertentu dalam hadîts.[30]
Kodifikasi yang terkenal adalah dilakukan oleh Mâlik ibn Anas.[31]
Adapun kitab-kitab tafsīr yang
menggunakan model ini, antara lain; Tafsîr
Ibn Jarîr, Tafsîr Abî
Layts al-Samarqandy, Tafsîr al-Durar al-Ma'tsûr
fi l-Tafsîr bi l-Ma'tsur (karya Jalaluddîn
Al-Suyûthi), Tafsîr Ibn Katsîr, Tafsîr Al Baghâwy dan Tafsîr Baqy ibn
Makhlad, Asbâb al-
Nuzûl (karya al-Wâhidî) dan Al-Nâsikh
wa l-Mansûkh (karya Abû
Ja'far An Nahhâs).[32]
Dalam aplikasi epistimologis[33],
tafsîr-tafsîr tersebut hanya menggali makna ayat Al-Qur’an dengan hadîs
nabi, pendapat sahabat atau perkataan para tâbi’în, yang dalam
perkembangannya tidak lagi membedakan riwayat yang sahih dan yang tidak.[34]
Dalam mengomentari
perkembangan diskursur tafsîr al-Qur’an yang terekam dalam kitab-kitab ulȗm
al-Qur’an dan ulȗm al-Tafsîr, Nasr Hamid, membagi trend
penafsiran ke dalam dua kategori. Pertama, konservatif merupakan trend penafsiran yang
memisahkan antara teks dengan konteks situasi sejarah objektif. Pada
perkembangan selanjutnya, trend ini mengubah teks menjadi sesuatu kesakralan
(proses chosifikasi, tasyi’). Kedua, reformatif merupakan trend penafsiran yang
mengakomodir dialektika teks dengan kondisi social-keagamaan dalam lintasan
sejarah objektif.[35]
Abu Zayd
berprinsip, bahwa pembaharuan adalah dialektika antara unsur yang lama dan
unsur kebudayaan kotemporer, dengan pengertian memperbaharuinya dan
merumuskannya dengan bahasa yang sesuai dengan masa sekarang. Dengan
demikian, pembaharuan tersebut akan mengatasi krisis pada saat ini, yaitu pembaharuan
yang menggabungkan antara unsur-unsur yang asli-otentik dengan unsur-unsur
kontemporer”.[36]
Hermeneutika Nasr Hamid Abu Zayd : Teori Makna dan
Signifikansi (الدلالة والمغزى) Serta
Posisinya dalam Hermeneutika Barat
Nasr Hamid Abû Zayd menawarkan hermeneutika
modern sebagai respons terhadap tradisi penafsiran teks klasik yang mengabaikan
eksistensi penafsir. Sebagaimana telah disebutkan di atas, teori penafsiran Nasr
Hamid Abû Zayd bersifat objektif-historis dari teks, yaitu bahwa proses
penafsiran dan kegiatan pengetahuan secara umum selalu ditujukan untuk
mengungkapkan berbagai kenyataan yang memiliki keberadaan objektif di luar
horison subjek pembacaan. Apabila horison pembaca membatasi sudut pandangnya,
maka data-data teks tidak berposisi sebagai penerima pasif terhadap
orientasi-orientasi subjek yang mengetahui. Hal ini berarti, bahwa pembacaan
dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya, didasarkan pada dialektika (جدلية) kreatif
antara subjek dan objek.
و هذا معنى ان القرأة الحقة، والنشاط
المعرفى الحق عموما، تقوم على الجدلية خصبة خلاقة بين الذات والموضوع. و هذه
العلاقة تنتج التأويل على مستوى درس النصوص والظواهرعلى السواء
“Hal
ini berarti bahwa pembacaan dan aktivitas intelektual yang benar pada umumnya
didasarkan pada dialektika yang produktif dan kreatif antara subjek dan objek.
Hubungan ini menghasilkan interpretasi baik pada level pengkajian teks maupun
terhadap fenomena.”[37]
Hermeneutika objektif-historis merupakan bentuk kritik
terhadap pembacaan tendensius (talwîn). Sementara ideologisasi
dihasilkan dari kecenderungan subjektif-oportunistik (al-Naz’ah aí-íâtiyah
an-naf’iyah) dan telah menggugurkan sudut objektif teks dan historisitas
teks, dan bentuk kritik terhadap kecenderungan positivistik-formalistik yang
menyembunyikan orientasi-orientasi ideologis di bawah jargon “objektif
ilmiah” (الموضوعية
العلمية). Hermeneutika objektif-historis Abû Zayd, merupakan gagasan
kritis berdasarkan argumentasi melalui pendekatan linguistik melalui kritik
sastra, karena karakter bahasa kitab suci dan
historisitasnya dikaji melalui pendekatan linguistik yang dikonsepsikan
oleh Ferdinand de Saussure dan pendekatan makna yang dibahas oleh Hirsch.
Konsep parole dan langue dalam kategori semiotika
diterapkan untuk membahas al-Qur’ân sebagai parole dan teks sebagai langue.[38]
Teori interpretasi Abû Zayd dipengaruhi oleh hermeneutika E.D. Hirsch.[39]
Hirsch menjelaskan keberadaan pengarang di hadapan berbagai pendapat yang
mengabaikannya. Hirsch berpendapat bahwa pengabaian terhadap pengarang
timbul dari konsep (imagination) yang menyatakan bahwa makna karya
sastra akan berbeda dari satu kritikus ke kritikus yang lain, dari satu masa ke
masa yang lain, bahkan menurut pengarangnya sendiri makna itu akan berbeda dari
satu periode ke periode yang lain.[40]
Ahmad Hasan Ridwan berpendapat, untuk mengatasai problem
yang dilematis ini, Hirsch membuat pembedaan atau pemisahan antara apa yang
disebut makna (meaning) dan apa yang disebut magzâ (signifikansi).
Dalam hal ini, Hirsch berpendapat bahwa signifikansi sebuah teks sastra
terkadang berbeda-beda atau beragam, tetapi maknanya tetap satu. Hirsch
menambahkan bahwa, adanya dua tujuan yang terpisah yang masing-masing terkait
dengan dua bidang yang berbeda. Bidang dan tujuan kritik sastra adalah
mencari signifikansi teks sastra yang sesuai dengan satu masa tertentu,
sedangkan teori penafsiran bertujuan untuk mencari makna teks sastra itu. Yang
tetap adalah makna, yang dapat dicapai melalui analisa teks, sedangkan yang
berubah-rubah adalah magzâ (signifikansi).[41]
Makna (dalâlah) terdapat dalam karya itu sendiri.
Sedangkan signifikansi (magzâ) berdasarkan keberagaman jenis relasi yang
ada antara teks dengan pembaca, Ketika makna teks dapat berubah sesuai dengan
pengarangnya, maka sebenarnya yang dimaksud yang berubah adalah magzâ.
Hal ini didasarkan pada keyakinan bahwa pengarang mentransformasikan dirinya
kepada pembaca sehingga merubah hubungan pengarang dengan teks.[42]
Makna yang dikehendaki pengarang berbeda dengan makna yang
tersimpan dalam teks. Karenanya, menurut Nasir Hamid Abu Zayd sebagaimana juga
pendapat Hirsch, yang harus diperhatikan dalam teks adalah makna teks,
bukan apa yang dikehendaki pengarang, atau apa yang dimaksudkannya, atau apa
yang ingin diekspresikannya.[43]
Lebih lanjut, Hirsch sependapat dengan Betti mengenai pentingnya fokus
hermeneutika pada bidang kajiannya tentang makna teks agar sampai kepada tafsir
objektif. Penafsir tidak memaksakan pendapatnya masuk ke dalam teks. Betti
hendak mengembalikan hermeneutika pada keadaan alaminya, sebagaimana Scheleirmacher
memfokuskannya pada usaha memahami teks. Baik Betti maupun Hirsch berpendapat
bahwa filologi adalah metode yang paling ideal untuk menafsirkan teks.[44]
Dengan demikian, pemikiran hermeneutika Nasr Hamid
Abȗ Zayd cenderung pada sintesa dari model keterpusatan kepada teks (text
centered) dan keterpusatan pada penafsir (reader centered). Lahirnya
makna tidaklah berasal dari teks itu semata-mata, akan tetapi melalui proses
dialektika, antara teks dengan manusia sebagai objek teks, seperti juga yang terjadi
dari relasi antara teks dengan kebudayaan sebagai relasi dialektis yang saling
menguatkan, dan satu sama lain mengkombinasikan dirinya pada saat memunculkan
wacana, pemikiran dan ideologi. Akal pikiran manusialah yang melahirkan makna
dan berbicara atas nama teks, sedangkan teks itu sendiri tidak berbicara.
Sehingga otoritas itu dapat dikatakan sebagai produk dari proses dialektika.[45]
Dengan demikian, dalam menafsirkan teks, Nasir Hamid Abu
Zayd bersifat dekonstruktif dengan menempatkan teks terpisah dari pengarangNya,
dan dia istilahkan dengan kematian pengarang (maut al-muallif),[46]
atau the death of author oleh Derrida.[47]
Berikutnya, peran pemaknaan secara mutlak diserahkan pada pembaca teks (reader
centered), dengan segala aspek sosial dan latar belakang historisnya. Salah
satu karakteristik tipikal dari pengaruh sosio-kultural terhadap karakteristik
Alquran bahwasanya dalam proses pembentukan teks, Alquran tidak bisa keluar
dari kerangka kebudayaan bangsa Arab saat itu, misalnya, dengan pengaruh teks-teks
syair bangsa Arab. Karakter dan corak suatu teks akan senantiasa menggambarkan
dan merefleksikan struktur budaya ( bunyah as-saqâfah) dan alam pikiran
( state of mind) di mana ruang dan waktu teks tersebut dibentuk.[48]
Ketika proses interaksi kebahasaan berlangsung, antara penutur dan penerima
harus terdapat kerangka yang sama sebagaimana disebut di muka. Akan tetapi
dalam realitas pragmatisnya hal itu sulit terjadi. Sebab proses komunikasi
dalam bingkai bahasa adalah menyampaikan pesan dalam bentuk teks. Ini akan
mengakibatkan terjadinya perbedaan antara “sistem/logika bahasa” dengan
“sistem/logika teks” yang keduanya itu dibatasi oleh pesan dari ideologi si
penutur. Sedangkan si penerima memiliki kemungkinan dengan sistem/logika
bahasanya untuk membentuk “kerangka interpretatif” (al-ithâr at-tafsîrî)
tersendiri terhadap pesan yang disampaikan si penutur. Melalui “sistem/logika
teks”, ideologi si penerima masuk untuk memberikan penilaian. Pada tataran
inilah kemudian terjadinya reduksi atau bahkan kemungkinan distorsi terhadap
pesan, baik oleh penutur maupun penerima. Tentunya ini dapat juga terjadi
ketika melakukan interpretasi terhadap teks al-Qur’an.
Oleh karena itu, dalam pandangang Nasr Hamid
Abȗ Zayd, bahasa menjadi “pondasi” bagi sumber penafsiran dan penta`wilan.[49]
Bahkan, Nasr Hamid menawarkan dan memperkenalkan bahasa sebagai pendekatan
modern dalam memahami teks.[50]
Dalam pendekatan modern, tugas hermeneutika tidak hanya menentukan prinsip-prinsip
penafsiran umum, tetapi juga mengungkapkan cita-cita yang sesuai bagi
penafsiran.[51] Lebih
lanjut, Nasr Hamid mengkampanyekan kepada pembaca untuk me-review
kembali asumsi-asumsi pembaca tentang apa itu “membaca”, “menafsirkan”, atau
“memahami teks”. Fenomena ini kemudian melahirkan istilah baru dalam
tradisi penafsiran, yakni “pembacaan” (qirâ’at).[52]
untuk menandai proses penemuan “makna”, sebuah ungkapan tulisan atau teks
terdiri atas pengarang, teks dan pembaca.[53]
Nasr Hamid Abȗ Zayd meminjam teori
hermeneutika Barat E.D. Hirsch Jr.,[54]
dalam memperkenalkan teori makna (dalâlah) dan signifikansi (magzâ)
dalam upaya memahami teks. Pembedaan antara makna dan signifikansi terdiri dari
dua konsep. Pertama, makna memiliki watak historis, yaitu bahwa ia tidak
mungkin diungkapkan tanpa pemahaman yang memadai terhadap konteks internal
linguistik teks dan konteks sosial-budayanya, sementara signifikansi memiliki
watak kekinian, yaitu bahwa ia merupakan hasil pembacaan yang berbeda dengan masa
terbentuknya teks. Kedua, makna secara relatif memiliki watak yang
stabil dan mapan, sementara signifikansi bersifat dinamis seiring dengan
horison pembacaan yang terus berubah.[55]
Lebih lanjut, Nasr Hamid Abȗ Zayd mengklasifikasikan
dalâlah dalam tiga tingkatan. Pertama, dalâlah yang
merupakan saksi sejarah yang tak dapat dicarikan ta’wîl dan magzâ-nya,
masalah yang berkaitan dengan ayat-ayat perbudakan, hubungan muslim dan non
muslim (ahl al-kitab), sihir, hasud, jin dan setan. Kedua, dalâlah
yang dapat dita’wilkan dengan majâz, seperti ayat-ayat kehambaan (‘ibâdiyah)
bukan penghambaan (‘ubûdiyah). Ketiga, dalâlah yang dapat
diperluas dengan pencarian magzâ, seperti ayat-ayat kewarisan untuk
wanita. Dari magzâ ini, teks dapat terus berkembang, sebagaimana Abû
Zayd menjelaskan :
ثلاثة مستويات للدلالة فى النصوص
الدينية : المستوى الاول مستوى الدلالات التى
ليست الا شواهد تاريخية لا تقبل التأويل لمجازى أو غيره، والمستوى الثانى مستوى
الدلالات القابلة للتأويل المجازى، المستوى الثالث مستوى الدلالات القابلة للاتساع
على أساس “المغزى” الذى يمكن اكتسافه من السياق
الثقافىالاجتماعى الذى تتحرك فيه النصوص، ومن حلاله تعيد انتاج دلالتها
“tiga
level makna dalam teks-teks agama. Level pertama adalah level makna yang hanya
merupakan bukti-bukti historis yang tidak dapat diinterpretasi secara metaforis
atau lainnya; level kedua adalah level makna yang dapat diinterpretasi
secara metaforis; dan level ketiga adalah level makna yang dapat diperluas atas
dasar “signifikansi” yang dapat disingkapkan dari konteks kultur-sosial di mana
teks-teks tersebut bergerak, dan melalui produktivitas makna dari teks-teks
tersebut.”[56]
Pembedaan
antara makna dan sigifikansi di dalam menginterpretasi teks bagaikan dua sisi
mata uang. Hal itu berlangsung, karena signifikansi tidak terlepas dari
sentuhan makna, sebagaimana signifikansi mengarah pada dimensi makna.
Signifikansi mencerminkan tujuan dan sasaran dari tindakan pembacaan, maka
tujuan tersebut dapat dicapai hanya melalui penyingkapan makna. Hermeneutika
Abû Zayd dalam penilaian Ahmad Hasan Ridwan,[57]
bermula dari proses pemahaman terhadap suatu teks secara bolak-balik antara dalâlah
dan magzâ, suatu pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam
rangka mencari magzâ untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah)
dengan cara penelusuran intelektual ke masa lalu (past time) untuk
memasuki ruang-ruang historis. Teks muncul di masa lalu (past time), dan
kembali ke masa kini (present time) untuk mendapatkan makna baru yang
hidup (produktif). Nilai baru yang dimaksud adalah fusi horison untuk future
yang hasilnya digunakan untuk membangun kembali magzâ secara terus
menerus.[58]
Teori ta’wîl yang ditawarkan Abû Zayd merupakan
proses gerak dialektis (gerak bandul) antara makna (dalâlah) dan
signifikansi (magzâ), antara masa lalu dan masa kini, dan antara teks
dan pembacanya. Gerak dialektis ini menghasilkan pemahaman terhadap suatu
teks secara bolak-balik antara dalâlah dan magzâ, sebagai suatu
pemahaman yang dimulai dari kenyataan sekarang (dalam rangka mencari magzâ)
untuk menemukan arti asal (dalâlah aèliyah), ketika teks itu
muncul di masa lalu, dan hasil temuan ini digunakan untuk membangun kembali magzâ
dan begitu proses selanjutnya. Proses ini tidak boleh berhenti pada makna dalam
pengertian historis partikularnya, tetapi proses ini harus menyingkapkan
signifikansi magzâ yang memungkinkan untuk membangun pondasi kesadaran
ilmiah atas dasar signifikansi tersebut.[59]
Aplikasi Teori Hermeneutika Nasr Hamid Abȗ
Zayd
Jika aplikasi teori hermeneutika Syahrûr dikenal dengan
istilah inter-tekstualitas dengan teknik sintagmatis-paradigmatis untuk
menangkap pesan yang terkandung dalam teks al-Qur’ân,[60]
dan Fazlur Rahman dikenal dengan teori double movement.[61]
Kemudian Hermeneutika Arkoun berusaha untuk memilah dan menunjukkan mana teks
pertama atau teks pembentuk dan mana teks hermeneutika,[62]
dan kelihatannya dipengaruhi teori hermeneutika post–strukturalis
Michel Foucault, sehingga ia menggunakan metode dekonstruksi dan analisa
arkeologis.[63]
Maka ,aplikasi teori Nasr Hamid Abu Zayd berangkat dari teori makna (dalâlah)
dan signifikansi (magzâ) sebagaimana dikemukakan sebelumnya dan contoh
cara kerjanya sebagai berikut.
Poligami dalam wacana al-Qur’an mempunyai level makna
ketiga, di mana pemahamannya haruslah melampaui makna historisnya dengan
menguak signifikansi masa kininya dan mampu menguak dimensi yang tak terkatakan
dari suatu pesan. Dalam masalah poligami, Abȗ Zayd berargumentasi sebagai
berikut:
- Kesadaran akan historisitas teks keagamaan adalah teks linguistik dan bahasa sebagai produk sosial dan kultural.
- meletakkan teks dalam konteks al-Qur’an secara keseluruhan terhadap konsep adil. Dengan melakukan ini, Abȗ Zayd berharap bahwa “yang tak terkatakan” atau yang implisit dapat diungkapkan.
- Poligami dibolehkan dalam al-Qur’an pada hakikatnya adalah sebuah pembatasan dari poligami yang tak terbatas yang telah dipraktikan sebelum datangnya Islâm.[64]
PENUTUP
Dalam perspektif pendekatan hermeneutik, variabel pemahaman
manusia sedikitnya melibatkan tiga unsur. Pertama, unsur pengarang (author). Kedua,
unsur teks (text). Ketiga,
unsur pembaca (reader).
Ketiga elemen pokok inilah yang dalam studi hermeneutika disebut Triadic
Structure. Dalam hal ini, Nasr Hamid Abȗ Zayd menawarkan
hermeneutika historis objektif dalam menafsirkan teks-teks agama, yang semenjak
abad pertengahan di dominasi oleh kalangan elit agama. Bahkan, sampai
diproklamirkannya penutupan “kran-kran” ijtihâd yang berdampak
kemunduran umat Islâm di tengah laju cepat perkembangan bangsa lain.
[1] Penggalan sya’ir Muhammad
Iqbâl “Kepada Saqi, Pembawa Gelas Anggur”. Lihat M. Dawam Rahardjo, Islam
dan Transformasi Budaya, (Yogyakarta: PT Dana Bakti Prima Yasa, 2002), h.
XVI
[2] Kata “membaca”
dalam bahasa Arab adalah قرأ merupakan perintah pertama kepada kepada Nabi
Muhammad tersebut, tertulis pada ayat pertama surat al-‘Alaq
Éy,n=y{7În/uÏ%©!$#
Oó$$Î/ù&tø%$#. Lihat Badr al-Dīn Muhammad ibn ‘Abdullāh al-Zarkasyī, Al-Burhān fī
‘Ulum al-Qur’an, (tt), hlm. 206. Lihat juga Fakhr al-Dīn al-Rāzī, Tafsīr
Mafātīh al-Ghaib, (Beirut, Dār al-Fikr, 1981), jld. 32, hlm. 13
[4]
Bandingkan dengan
penjelasan Ibn ‘Âsyûr, bahwa secara etimologis kata tafsîr dalam
pandangan al-Syâfi’iyyah merupakan bentuk masdar dari fassara
yang berwazan fa’ala yang berfaidah li al-taktsîr. Lihat Muhammad
al-Tâhir ibn ‘Âsyûr, Tafsîr
al-Tahrîr wa al-Tanwîr, (Tunis: Al-Dâr al-Tunisiyyah, 1984), Juz, 1,
hlm,10
[6] juga Fakhr al-Dīn
al-Rāzī, Tafsīr Mafātīh al-Ghaib, (Beirut, Dār al-Fikr, 1981), jld. 32,
hlm. 14
[7] Muslim ‘Āli Ja’far, Manāhij
al-Mufassirūn, (tt: Dar al-Ma’rifah, 1980), hlm. 8
[8] Abdullâah Syahâtah, ‘Ulûm
al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001), hlm. 8.
[9]
Ahmad Syukri Saleh,
Metodologi Tafsir al-Qur’an Kontemporer Dalam Pandangan Fazlur Rahman, (Jambi:
Sulthan Thaha Press, 2007), cet. 2, hlm 1-2
[10]
Dalam konteks yang berbda, al-Imâm Fakhr al-Dîn al-Râzî
(544H- 606H/1149M-1210M), menyoroti
argumentasi Mu’tazilah yang menggunakan kejadian-kejadian dalam al-Quran,
seperti kisah perang Badr, pengaduan perempuan tentang suaminya dan sebagainya
untuk memperkuat bukti konsep ‘al-Qur’an adalah makhluk’. Al-Râzî berpendapat bahwa jika
kejadian-kejadian tersebut dipandang dari sisi huruf dan suara, maka beliau
bersepakat dengan Mu’tazilah bahwa al-Qur’an merupakan makhluk, sebab dalam
pandangan mereka al-Qur’an tidak lain hanyalah susunan huruf dan suara,
sehingga argumentasi yang mereka utarakan hanyalah berkisar pada temporalnya (hudËth)
huruf dan suara tersebut. Sedangkan pandangan Ahlu al-Sunnah tentang qadÊm-nya
al-Quran bukan dari sisi ini, tapi dari sudut pengertian lain. Lihat Al-Imâm
Fakhr al-Dîn al-Râzî, Al-Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtih al-Ghaib,
(Beirut: Dâr al-Fikr, 1981), juz I, h. 70
[11] Al-Jâbirî, Madkhal ilâ
l-Qur`ân al-Karîm, h. 25.
[12] Nasr
Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h. 9
[13] Nasr
Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h.
12
[14] Nasr
Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h.
10
[15] Nasr
Hamid Abȗ Zayd, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., hlm.
20
[16] Nasr
Hamid Abȗ Zayd, al-Nass wa al-Sulthah wa al-Haqîqah, penerjemah Sunarwoto,
(Yogyakarta: Dema, LkiS, Yogyakarta, 2003), hlm. 92. Lebih lanjut, Abȗ al-Hudhail al-Allâf (131H-226H), berpendapat bahwa Allâh
menciptakan al-Qur’an di Lauh al-Mafȗdh yang masih berbentuk ‘arad.
Kemudian, Allah menampakkannya melalui tiga tempat; di tempat dia dijaga, di tempat dia
ditulis dan di tempat dia dibaca dan didengar. Lihat Abd
al-Rahmân
Badawî, Madhâhib al-Islâmiyyîn, vol. I, Dâr al-Ilm li al-Malîyîn, Beirut, hal. 164-168 dan hal. 300. Kemudian Pendapat al-Allâf tersebutmendapat dukungan
dari Khalifah al-Makmȗn
(w. 218 H), dengan menafsirkan surat al-Burȗj: 21-22 (Bahkan dia adalah al-Qur’ân yang mulia, yang tersimpan di Lauh al-Mahfȗdh), bahwa sesungguhnya perkataan “Lauh”
yang mendindingi al-Qur’Én mengandung pengertian “khalq” (temporal). Lihat Al-Ùabari (w.310H), Târikh al-Umam wa al-Muluk,
vol. XI, hal. 1125-1131.
Lebih lanjut, konsep Mu’tazilah mendapatkan respon dari kalangan
As’ariyyah. Al-Imâm al-Asy’arî
menyatakan: “Jikalau al-Qur’an itu makhluk (diciptakan), pasti tidak lepas dari
tiga hal. Pertama, Allah menciptakan al-Qur’an dalam diri-Nya. Kedua,
Allah menciptakannya secara independent (berdiri-sendiri). Ketiga,
Allah menciptakannya di luar diri-Nya.Yang pertama tidak bisa diterima oleh
akal. Allah tidak mungkin menciptakan al-Qur’an dalam diri-Nya, sebab diri-Nya
bukanlah tempat (mahallun) untuk al-hawÉdith (hal-hal yang
bersifat temporal). Yang kedua juga mustahil. Al-Quran tidak mungkin diciptakan
secara independen, sebab al-Qur’an adalah Kalam Allah, dan Kalam adalah
sifat yang keberadaannya tidak mungkin berdiri sendiri. Yang ketiga pun tidak
mungkin. Bahwa Al-Qur’an diciptakan di luar diri-Nya. Jika begitu, berarti
Allah menciptakan al-Qur’an dalam sebuah organ atau benda lain di luar
diri-Nya. Jika al-Qur’an itu berbentuk perintah, berarti organ tersebut
bersifat memerintah, dan bila berbentuk ancaman maka dia juga bersifat
mengancam. Demikian seterusnya. Maka sangat mustahil bila Allah hanya dapat
berfirman, memerintah atau memberikan janji dan ancaman melalui perantara
sebuah organ atau benda yang diciptakan di luar diri-Nya, yang dengan
benda itu Allah baru bisa berfirman atau memerintah. Lihat Al-Imâm Abȗ al-Hasan al-AÎ’As’arî, Al-Lumâ’
fî al-Radd al- Ahl al-Zaigh wa al-Bidâ’, (Kairo: Maktabah al-Khanji, 1955),
hlm. 64-65
[17] Louis
Berkhof, A Summary of Christian
Doctrine, (London: The Banner of Truth Trust, 1978), h. 16-17
[19] Muhammad ibn ‘Abdullâh al-Zarkasyî,
Al-Burhân fî ‘Ulûm al-Qur’an, hlm 150
[20]
Abû Bakar Muhammad
Ibn al-Thayyib al-Bâqillânî, I’jâz al-Qur`ân, (al-Qâhirah: Dâr
al-Ma’ârif, t.th), hlm. 143
[21]
Dalam hal ini, al-Qur’an
dipandang dalam konteks “hidup mengiringi zaman”. Oleh karena itu, dengan
berbagai perkembang yang mengiringi kehidupan mufassir, maka mempengaruhi juga
kecenderungan mereka dalam menfasirkan al-Qur’an diberengi dengan perkembangan
relitas yang mereka hadapi. Lihat Muhammad Mustâfa al-Marâghî, Tafsîr
al-Marâghî, (Mesir: Mustâfa al-Bâbî al-al-Hali, ttp), Juz 1, hlm.
3
[22]
Lihat Abd al-Qâdir Mansûr,
Mausûat ‘Ulûm al-Qur’an, (Suriyah: Dâr al-Qalam al-Arabî, 2002), hlm.
186-187.
[23]
Fahd ibn ‘Abd al-Rahmân ibn
Sulaimân al-Rumî, Manhaj al-Madrasat al-‘Aqaliyyat al-Hadîtsat fî
al-Tafsîr, (Riyadh: tt, 1983), juz 1, hlm. 16
[24] Penjelasan Nabi kepada sahabat
yang kemudian diabadikan oleh para sahabat dalam hadis-hadis dengan redaksi
yang bermuatan penjelasan tentang makna-makna Al-Qur’an. Terkait kapasitas para
sahabat dalam menafsirkan al-Qur’an, terdapat perbedaan-perbedaan yang
menyebabkan mereka berbeda dalam memahami suatu ayat dalam al-Qur’an. Lihat Fahd
ibn ‘Abd al-Rahmân ibn Sulaimân al-Rumî, Manhaj al-Madrasat al-‘Aqaliyyat
al-Hadîtsat fî al-Tafsîr, (Riyadh: tt, 1983), juz 1, hlm. 24. al-Dzahabî
menanmbahkan, trend penafsiran sahabat belum mencapai keseluruhan bagian
Al-Qur’an (atomistik), terbatas hanya pada ayat-ayat yang pernah dijelaskan
oleh Nabi, ditambah dengan beberapa pandangan (ijtihad)[24]
mereka sendiri, seperti pada tafsir Ibn Abbâs yang kita temui saat ini. Bentuk
penafsiran seperti inilah yang disebut sebagai Tafsîr bi l-ma’tsûr atau Tafsîr
bi al-Riwāyat. Lihat Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa l-Mufassirûn, hlm. 5.
Pada perkembangan tafsîr periode sahabat, muncul beberapa tokoh sahabat
yang aktif dalam kegiatan penafsiran Al-Qur’an. Antara lain; Abû Bakar
as-Shiddîq, ‘Umar ibn al-Khaththâb, ‘Utsmân ibn ‘Affân,’Alî ibn Abî Thâlib, Ibn
Mas’ûd, Ibn ‘Abbâs, Ubay ibn Ka’b, Zayd ibn Tsâbit, Abû Mûsâ al-Asy’arî dan
Abdullâh ibn Zubayr. Lihat Muhammad ibn ‘Alwī al-Mālikī al-Hasanī, Al-Qawāid
al-‘Asāsiyyah fī ‘Ulūm al-Qur’an, (Makkah: Maktabah al-Mulk Fahd al-Wataniyyah,
1419 H), hlm. 164.
[25]Model penafsiran bi l-ma’tsûr
dari generasi sahabat, kemudian diadopsi oleh murid-murid mereka—dari generasi
tabiin--meskipun kita hanya mengetahui serpihan khasanah tafsīr dari
generasi tabiin melalui nukilan-nukilan yang dinisbahkan kepada mereka
sebagaimana yang tercantum dalam kitab-kitab bi l-ma`tsûr. Namun kita patut
bersyukur bahwa merekalah pembuka jalan bagi Ibn Jārir al-Tabarī yang banyak
mengadopsi metode mereka dalam menulis kitab tafsīrnya. Lihat Saiful
Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Insan
Madani, 2008), hlm. 24-25. Pada masa generasi ini, pengajaran tafsîr berpusat
pada tiga madrasah terbesar yang terdapat di kota Makkah, Madinah dan Irak.
Lihat Saiful Amin Ghofur, Profil Para Mufasir al-Qur’an, (Yogyakarta:
Pustaka Insan Madani, 2008), hlm. 12-13. Para tabiin yang belajar di madrasah
ahl Makkah, yaitu Mujâhid, ‘Atâ` ibn Abî Rabâh,’Ikrimah Mawlâ Ibn
Abbâs, Sa’îd ibn Jubayr, dan Thâwus belajar kepada Ibn Abbâs. Sementara itu,
para tabiin yang belajar di madrasah Madinah berguru kepada Ubay ibn Ka’ab. Di
antara tabiin yang belajar di Madinah adalah Zayd ibn Aslam, Abdurrahmân,
dan Mâlik ibn Anas al-Ashbahî. Dan terakhir, madrasah Iraq, di bawah
bimbingan sahabat Ibn Mas’ûd, melahirkan salah satu komunitas eksponen generasi
emas tabiin. Antara lain; Qatâdah ibn Du’âmah, Abû Sa’îd al-Hasan al-Basrî
dan ‘Athâ` ibn Abî Muslim. lihat Jalâluddîn al-Suyûthî, al-Itqân fî ‘Ulûm
al-Qur`ân, (Bairût: al-Maktabah al-‘Ashriyyah, 1988), hlm. 452.
[27]
Abdullâh Syahâtah, ‘Ulûm
al-Tafsîr, (Kairo: Dâr al-Syurûq, 2001), hlm. 29
[28]
Periode periwayatan tafsîr
bi al-Ma’tsûr dimulai sejak zaman Nabi Muhammad Saw., ketika beliau
menerangkan ayat al-Qur’an yang maknanya masih samar di benak para sahabat,
kemudian para sahabat meriwayatkan kepada sahabat lain yang tidak langsung
mendengar dari Nabi, dan masa periwayatan ini bermuara pada zaman tâbi’în
yang meriwayatkan dari para sahabat. Adapun periode kodifikasi tafsîr bi
al-Ma’tsûr ini berbarengan dengan kodifikasi ilmu-ilmu ke-Isalaman lainnya.
Dalam periode ini, tafsîr bi al-Ma’tsûr masih menyatu dalam kitab hadîs.
Lihat Muhammad Husain al-Dzahabī,’Ilm
al-Tafsīr, (kairo: Dār al-Ma’ārif, tt), hlm. 22-23
[29] Sebagaimana
yang terdapat dalam Muqaddimah Tafsīr Ibn Katsīr penafsiran bi
l-ma`tsûr dapat dirusmuskan sebagai penafsiran yang berpijak kepada
al-Qur’an sendiri, hadīts Nabi dan pendapat sahabat. Lihat
Muhammad ibn Lutfī al-Sibāgh, Lumhāt fī ‘Ulūm al-Qur’an
wa Ittijahāt al-Tafsīr, (Beirut; Al-Maktab al-‘Islāmī, 1990), hlm. 206
[30] Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa
l-Mufassirûn, hlm. 5.
[31] Hamîd al-Hamr, al-Imâm
Mâlik Mufassiran Radliyallâh ‘Anhu, (Bairût: Dâr al-Fikr, 1995), hlm. 10.
[32] al-Zarqânî, Manâhil
al-‘Irfân, J. 2, hlm. 22.
[33]
Epistimologi yang dimaksud
adalah bayāni, menurut epistimologi salah satu aspek yang membentuk
pengetahuan adalah bahasa. Dalam hal ini, seperti dikemukakan oleh ulama
usul al-Fiqh bahwa bahasa Arab merupakan bagian dari esensi al-Qur’an. Lihat
Muhammad ‘Ābid al-Jābirī, Takwīn al-‘Aql al-‘Arabī, (Beirut: Markaz Dirāsat
al-Wihdah al-‘Arabiyyah, 1989), hlm. 122
[34] Al-Dzahabî, al-Tafsîr wa
l-Mufassirûn, hlm. 5.
[35]Nasr
Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h.
13-16
[36] Nasr
Hamid Abu Zaid, Mafhȗm al-Nass Dirâsah fî ‘Ulȗm al-Qur’ân…., h.
16
[37] Nasr Hamid Abȗ
Zayd, Naqd al-Khitâb al-Dînî, (Mesir:
Sina lial-Nasr,1994), hlm. 115
[38] Ferdinand de Saussure
membedakan parole dan langue. Parole adalah
penggunaan bahasa secara individual dan langue adalah bahasa yang
dipilih dari kamus umum. Panuti Sudjiman dan A. Van Zoest, Serba-Serbi
Semiotika (jakarta: Gramedia, 1992), h. 57 dan lihat; Nasr Hamid
Abȗ Zayd, Naqd al-Khitâb
al-Dînî…, hlm. 193
[39] E.D. Hirsch digolongkan sebagai
penganut pemikiran Radical Historicism. Dwight Poggemiller, “Hermeneutics and Epistemology:
Hirsch’s Author Centered Meaning, Radical Historicism and Gadamer’s Truth and
Method”, Premise Journal, vol II, no. 8/ September 27, 1995, h. 10
[40] Nasr Hamid Abȗ
Zayd, Isykâliyah al-Qira’ah wa Â’liyâh at-Ta’wîl, (Beirut: markaz
as-Saqafî al-‘Arabî, 1992) hlm. 48
[41] Ahmad Hasan Ridwan, Jejak
Hermeneutika Dalam Islamic Studies, (http://ahasanridwan.
wordpress. com/2008/02/23/jejak-hermeneutika-dalam-islamic-studies/2009), h. 12
[42] Abû Zayd mejelaskan lebih
lanjut dari teori Hirsch dengan tiga level makna suatu pesan yaitu: (1)
Makna yang hanya menunjuk kepada bukti atau fakta historis yang tidak
dapat diinterpretasikan secara metaforis; (2) Makna yang menunjuk kepada
bukti atau fakta sejarah yang dapat diinterpretasikan secara metaforis; (3)
makna yang dapat diperluas berdasarkan signifikansi yang diungkap dari konteks
sosio-kultural tempat teks muncul. Nasr Hamid Abȗ Zayd, Naqd…,
hlm. 210
[43] Nasr Hamid Abu Zayd, Isykâliyah
al-Qira’ah wa Â’liyâh at-Ta’wîl…..,
hlm. 48
[44] Ahmad Hasan Ridwan……, hlm. 13
بل ان الحاحها على انفصال
النص عن مؤلفه و عن عصره والواقع الذى أنتجه، لدرجة أنها بشرتنا بعصر “موت
المؤلف” جعلها تبنى للنصوص عالما مستقلا له قوانينه الخاصة. انها نظرية النقد
الجديد، خلعت مسرحها القديمة واستبد لت القارىء بالمبدع، وأليات القرأة و التأويل
بأليات الابداع و التشكيل
[46] Simon Critchley dan Timothy
Mooney, “Deconstruction and Derrida”, dalam Richard Kearney (ed.), Twentieth-Century
Continental Philosophy (london: Routledge, 1994), vol. VIII, h. 445
[47] Polemik mengenai persoalan
tersebut terjadi di Mesir, misalnya yang terjadi dengan Thâhâ Husein.
Lihat Mustafâ Sâdiq Râfiq, Tahtâ Râyah al-Qur’an,
(Bairut: Dâr al-Ktâb al-‘Arabî, 1974), hlm. 72. Leonard Binder, Islamic
Liberalism: A Qritique of Development Ideologies, (London: Oxford
University Press, 1988) hlm. 186; Albert Hourani, Arabic Thought in The
Liberal Age 1798-1939, (London: Oxford University Press, 1962), h.
222-224; David Sagiv, Fundamentalism and Intellectuals in Egypt, Gila
Svirski, (Great Britain: Frank Cass& Lo. LTD., 1995); serta J. Brugman, An
Introduction to The History of Modern Arabc Literature in Egypt, (Leiden:
E.J. Brill, 1984), hlm. 338-379
[48] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 198
[49] Nasr Hamid Abȗ
Zayd, Al-Tafkîr fî Zamân al-Takfîr: Lî al-Jahl wa al-Zaif wa al-Khurâfah,
(Kairo: Maktabah al-Madbûlî al-Mishriyyah, 1995), hlm. 138
[51] Anthony C. Thiselton, New
Horizon in Hermeneutics ,(Michigan: Grand Rapids, 1992), hlm. 2-3
[52] Ahmad Hasan Ridwan…, hlm. 14
[53] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 186
[54] E.D. Hirsch, Jr, validity in
Interpretation (New haven and London: Yale University Press, 1967/1978),
hlm. 8
[55] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 218
[56] Nasr Hamid Abȗ Zayd, naqd…, hlm. 203
[57] Ahmad Hasan Ridwan….., hlm. 16
[58] Di antara kunci penting dalam
hermeneutika Gadamer adalah fusi cakrawala (horisontverchnlzubg)
sebagai bagian integral dari situasi hermeneutik. Cakrawala adalah tebaran
pandangan yang merangkum dan mencakup segala hal yang dapat dilihat dari suatu
titik pandang. Yang dimaksud titik pandang bukanlah pandangan fisikal, tetapi
pandangan mental atau kejiwaan. Gadamer membedakan cakrawala historikal dan
cakrawala masa kini. Cakrawala historikal adalah prasangka-prasangka yang
membentuk ekspektasi-ekspektasi tentang masa lalu. Sedangkan, cakrawala masa
kini adalah prasangka-prasangka yang kita bawa. Prasangka tersebut selalu hidup
bersama tradisi yang membentuk horison interpreter secara partikular dan
berkelanjutan. Tradisi (teks) yang menempati past time dan sesuatu
yang baru (interpreter) yang menempati present time selalu
terus menerus bersama dan membuat suatu nilai yang hidup (produktif
bukan reproduktif). Nilai hidup tersebut yang dimaksud adalah fusi
horison untuk future. Ketika reader yang berada pada situasi
kekinian ( present time) yang melebur dengan teks dalam effective-history
suatu momen produktif, maka bersama dengan horison obyek akan menjadi fusi
horison ke arah masa depan. Gadamer, Truth and Method (New York:
Seabury Press,1975), hlm. 273
[59] Ahmad Hasan Ridwan……, hlm. 16
[60]Sintagmatis-paradigmatis yakni dengan cara menggabungkan
ayat-ayat al-Qur’ân yang memiliki titik persinggungan dan persamaan tema dalam
surat-surat yang berbeda. Teknik sintagmatis bertujuan untuk menentukan makna
yang paling tepat di antara makna-makna yang ada, setiap kata pasti dipengaruhi
oleh hubungannya secara linear dengan kata-kata di sekelilingnya. Adapun tujuan
analisis paradigmatis adalah pencarian dan pemahaman terhadap sebuah
konsep-konsep dari simbol-simbol lain baik yang mendekati maupun yang
berlawananMuhammad Syahrûr, lihat Muhammad Syahrûr, Islam dan Iman :
Aturan-aturan Pokok, terj. Sabrur R. Soenardi (Yogyakarta: Jendela, 2002),
hlm. xx
[61] Teori double movement menjelaskan penafsiran dua arah, yaitu melakukakan
ziarah pemahaman terhadap lahirnya teks di masa lampau dengan memahami benar
kondisi saat ini, dengan merumuskan visi al-Qur’ân yang utuh dan membawa
kembali ke masa sekarang dengan menerapkan prinsip umum tersebut dalam situasi
sekarang. Secara praktis gagasan Rahman tersebut tercakup pada dua langkah:
pertama, orang harus memahami makna pernyataan al-Qur’ân
dengan mengkaji latar belakang historis ketika sebuah ayat diturunkan, dan
memahami makna al-Qur’ân sebagai keseluruhan di samping jawaban-jawaban khusus.Kedua, adalah melakukan generalisasi respons-respons khusus
dan menyatakannya sebagai pernyataan-pernyataan moral-sosial umum yang dapat
disarikan dari ayat-ayat spesifik dan rasio logisnya. Jika langkah pertama
adalah berangkat dari persoalan-persoalan spesifik dalam al-Qur’ân untuk
dilakukan penggalian dengan sistematisasi prinsip-prinsip umum, nilai-nilai,
dan tujuan-tujuan jangka panjang, maka langkah kedua harus dirumuskan dan
direlasikan pada saat sekarang. Kedua langkah pemahaman al-Qur’ân tersebut
sebagaimana digagas Rahman dapat membuktikan bahwa perintah-perintah
al-Qur’ân
akan menjadi hidup dan efektif
kembali. Fazlur Rahman, Islam and Modernity: Transformation of an Intelectual Tradition (Chicago: The University of Chicago Press, 1982), hlm.
7-8
[62] Mohammed Arkoun, Al-Fikr al-Islâmî
: naqd wa al-Ijtihâd, terj. Hasyim Shalih (London: dâr al-Saqi, 1990), hlm.
232
[63] Analisa arkeologi dimaksudkan
untuk mengklarifikasi sejarah teks-teks hermeneutika dari tradisi pemikiran
tertentu, yaitu memperjelas dengan membersihkan kabut ruang dan waktu yang
menyelubunginya sehingga akan terlihat hubungan antara teks-teks dari fase
sejarah tertentu dengan konteks sosial, generasi serta gerakan-gerakan
pemikiran yang beragam dan berada dalam waktu yang samaArchaelogy describes
discourse as practices specified in the element of the archive.
Lihat, Michel Foucault, The Archaelology of Knowledge (London:
Routledge, 1991), hlm.131-233-4.
[64] Ichwan, Nur, Moch. Meretas
Kesarjaan Kritis Alquran, Teori hermenutika Nasr Abu Zayd, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 86-91