Selasa, 09 Juni 2015

Filsafat Alam dalam Bingkai Fiqh al-Bi’ah : Dialektika Relasi Alam Dengan Tuhan Versi Islâm



Filsafat Alam dalam Bingkai Fiqh al-Bi’ah : Dialektika Relasi Alam Dengan Tuhan Versi Islâm

Filsafat Alam dalam Bingkai Fiqh al-Bi’ah : Dialektika Relasi Alam Dengan Tuhan Versi Islâm A. Pendahuluan Jikalau seseorang membaca suatu buku filsafat ilmu pengetahuan, maka substansi yang ingin dipahami adalah apa pengertian ilmu pengetahuan, atau secara sederhana apa yang dimaksud dengan hakikat ilmu pengetahuan. Filsafat merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan manusia, tanpa kita sadari telah melakukan proses berfikir dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi manusia itu sendiri, karena manusia selalu ingin tahu dan mencari jawaban atas masalahnya. Filsafat itu sendiri adalah sebagai kumpulan ilmu pengetahuan tentang Tuhan, alam dan manusia. Descartes (1590 –1650). Pentingnya filsafat dalam kehidupan manusia bertujuan untuk mengembalikan nilai luhur suatu ilmu agar tidak menjadi boomerang bagi kehidupan manusia itu sendiri. Banyak yang bertanya-tanya mengapa filsafat muncul di Yunani dan tidak di daerah yang beradab lain kala itu seperti Babilonia, Yudea (Israel) atau Mesir. Jawabannya sederhana: di Yunani, tidak seperti di daerah lain-lainnya tidak ada kasta pendeta sehingga secara intelektual orang lebih bebas. Orang Yunani pertama yang bisa diberi gelar filosof ialah Thales dari Mileta, sekarang di pesisir barat Turki. Tetapi filosof-filosof Yunani yang terbesar tentu saja ialah: Socrates, Plato, dan Aristoteles. Socrates adalah guru Plato sedangkan Aristoteles adalah murid Plato. Bahkan ada yang berpendapat bahwa sejarah filsafat tidak lain hanyalah “komentar-komentar karya Plato belaka”. Hal ini menunjukkan pengaruh Plato yang sangat besar pada sejarah filsafat. Filsafat dibagi menjadi 4 babakan yakni Filsafat klasik, filsafat abad pertengahan filsafat modern dan filsafat kontemporer. Filsafat klasik di dominasi oleh rasionalisme, filsafat abad pertengahan didominasi dengan doktrin-doktrin agama Kristen selanjutnya filsafat modern didominasi oleh rasionalisme sedangkan filsafat kontemporer di dominasi kritik filsafat modern modern. Sikap manusia terhadap alam dan lingkungan berkorelasi dengan pandangan spiritualnya. Atas dasar itu, beberapa point penting dalam ruang lingkup bahasan fiqh al-bi`ah akan dibicarakan di sini, di antaranya adalah landasan teologis sebagai bagian dari spiritualitas. Di samping itu, bagian ini menjadi penting, karena fiqih tidak seharusnya bertentangan dengan teologi (kalam). Keduanya harus bersinergi. Hal ini dibuktikan dari orientasi para mutakallimin yang membahas persoalan-persoalan yang kemudian menjadi titik-tolak pembahasan fiqih. Begitu juga, para fuqaha` sering mengemukakan bahasan-bahasan teologi yang mengantar ke substansi fiqih yang ingin dibahasnya, misalnya persoalan tentang taklif, Sayangnya, berbeda dengan tashawwuf dan filsafat yang membahas kosmolog, literatur-literatur kalam klasik tidak banyak, jika tidak sama sekali berbicara tentang alam (kawn). Namun, hal itu tidak berarti bahwa al-Qur’an tidak sama sekali berbicara tentang alam dalam wacana yang menyentuh kesadaran teologis. Bahkan, alam dalam struktur pembicaraan al-Qur’an (kosmologi al-Qur’an) merupakan elemen yang sangat penting. B. Pengertian Filsafat Alam dan Fiqh Bi’ah Filsafat alam berasal dari bahasa Latin philosophia naturalis yaitu istilah yang melekat pada pengkajian alam dan semesta fisika yang pernah dominan sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Filsafat alam dipandang sebagai pendahulu ilmu alam semisal fisika. Bentuk-bentuk ilmu pengetahuan per sejarahnya berkembang di luar filsafat, atau lebih khususnya filsafat alam. Di universitas-universitas yang lebih tua, Kursi-Kursi Filsafat Alam yang sudah mapan kini sebagian besar dikuasai oleh para guru besar fisika. Catatan modern ilmu pengetahuan dan ilmuwan merujuk pada abad ke-19 (Webster's Ninth New Collegiate Dictionary menuliskan bahwa asal mula kata "ilmuwan" adalah dari tahun 1834). Sebelumnya, kata "ilmu pengetahuan" sekadar berarti pengetahuan dan gelar ilmuwan belumlah wujud. Karya ilmiah Isaac Newton dari tahun 1687 dikenal sebagai Philosophiæ Naturalis Principia Mathematica. Fiqh lingkungan atau fiqh al-bi`ah (فقه البيئة) adalah bagian dari fiqh kontemporer yang dimaksudkan untuk menyikapi isu-isu lingkungan dari perspektif yang lebih praktis dengan memberikan patokan-patokan (hukum dan regulasi) berinteraksi dengan lingkungan. Pendekatan fiqih memiliki keunggulan dibanding pendekatan-pendekatan lain, semisal filsafat lingkungan, karena umat Islam memerlukan aturan yang lebih praktis dengan bukti pola pikir bayini (seperti kecenderungan nalar fiqih) yang basisnya teks (nash) lebih dominan daripada pola-pola pikir lain (‘irfani dan burhani). Istilah “lingkungan” (environment; bi`ah) mencakup keseluruhan kondisi dan hal-hal yang bisa berpengaruh terhadap perkembangan hidup organisme. Kesatuan dan saling ketergantungan semua yang hidup dalam sistem biologi dan hubungannya dengan lingkungan disebut ekosistem. Ketergantungan antara organisme hidup dengan sumber-sumber hidupnya, seperti air dan makanan, menentukan keberlangsungan keberadaannya. Oleh karena itu, lingkungan mencakup kesatuan yang saling terkait, baik lingkungan fisik berupa keadaan alam, seperti air, udara, tanah, gunung, hutan, laut, dan sungai maupun organisme yang hidup di dalamnya, seperti hewan dan tumbuh-tumbuhan. Fiqih yang sering diartikan sebagai “ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang berkaitan dengan amaliyah yang disimpulkan dari argumen-argumennya secara rinci”, objek sasarannya adalah manusia yang diberi kewajiban (mukallaf). C. Landasan Teologi-Filosofis: Perekat Filsafat Alam dengan Fiqh dalam Bingkai Islm 1. Alam Semesta Sebagai “Petanda” (Ayah, Ayat) Kebesaran Pencipta Periode Yunani Kuno sering disebut sebagai periode filsafat alam. Dikatakan demikian, karena pada saat itu banyak bermunculan para ahli pikir alam, dimana arah dan perhatian pemikirannya tertuju kepada apa yang diamati di sekitarnya. Mereka membuat pernyataan- pernyataan tentang gejala alam yang bersifat filsafati dan tidak berdasarkan pada mitos. Mereka mencari asas yang pertama dari alam semesta yang sifatnya mutlak, yang berada di belakang segala sesuatu yang serba berubah. Kemudian di tangan filosof Islam, misalnya al-Kindi, filsafat alam mengalami “modifikasi-modifikasi. Dalam hal Istilah alam (nature), oleh al-Kindi digunakan dalam dua pengertian yang berbeda, pengertian yang pertama adalah berarti jumlah obyek-obyek fisik dan material. Apa yang material adalah yang alami(Natura). Adapun pengertian yang kedua adalah, Alam berarti perinsip primer tentang gerak dan diam, semua unsur sederhana tidak termasuk unsur-unsur lelangit, memperlihatkan suatu gerakan alami yang mempunyai suatu ahir dimana suatu unsur-unsur berhenti. Dalam pengertian yang kedua ini alam sangat menyerupai phsis Yunani, suatu daya yang immanen, dan ada sendri dalam benda-benda yang menjadikannya bergerak, untuk mencapai bentuk atau tujuan alaminya tetapi sebagai seorang muslim al-Kindi tidak dapat menerima alam yang ada sendri. Alam diciptakan oleh tuhan yang menentukan alam semista yang diciptakan dan membuatnya berfungsi dalam siatuasi sistem yang mantap. Sedangkan difinisi alam segagai prinsip yang dciptakan oleh tuahan, sebagai penyebab dan diam, menyebabkan fisika, studi tentang alam, berkepentingan kepada benda-benda yang gerak dan berubah-ubah dan sebaliknya matafisika yang berkepentingan dengan benda-benda yang tak bergerak atau abadi. Lebih lanjut, al-Kindi berpendapat bahwa alam ini terdiri atas dua bagian, yakni alam yang terletak dibawah falak bulan, dan juga alam yang merentang tinggi sekjak dari falak bulan sampai ke-ujung alam. Jenis alam yang pertama adalah terdri dari empat unsur, yaitu: Air, Api. Udara, dan Tanah. Keempat unsur itu berkualitas dingin, panas, kering, juga basah yang merupakan pelambang dari berubahan, pertumbuhan dan pemusnahan, sedangkan pada jenis alam yang kedua adalah tidak dapat dijumpai empat unsur-unsur pada alam yang pertama, karena tidak mengalami perubahan dan kemusnahan, dengn kata lain alam yang kedua, adalah abadi sifatnya. Beberapa ajaran kosmologi al-Qur’an yang ditujukan pada kesadaran teologis di antaranya dapat dicatat di sini beberapa point penting. Pertama, alam adalah “muslim” (tunduk) kepada kehendak Allah swt dan segala sesuatu yang ada di dalam memuji-Nya. “Ketundukan” (islam) alam tersebut, menurut Fazlur Rahman, adalah ide yang inheren dan sealur dengan kenyataan bahwa dalam soal kejadian (kosmogoni), al-Qur’an sedikit sekali berbicara, kecuali lebih menekankan keterciptaannya dengan “jadilah!”. Kedua, al-Qur’an secara berulangkali memuat pernyataan-pernyataan tentang fenomena-fenomena alam yang dihubungkan dengan Allah swt, manusia, ataupun keduanya agar manusia beriman pada kekuasaan-Nya. Ketiga, alam diciptakan berdasarkan “ketentuan” (qadr, taqdir, bukan determinisme atau jabariyyah, melainkan “determinisme holistik”, yaitu hukum-hukum yang ditentukan berkenaan alam). Determinisme holistik selain berlaku pada alam, seperti layaknya hukum-hukum alam pada kausalitas (misal: api dapat membakar kertas), juga berlaku pada tingkah laku moral manusia, seperti hukum sejarah bangun-runtuhnya sebuah bangsa dan hukum yang berlaku bagi setiap perbuatan manusia di dunia yang akan dibalas di akhirat. Keempat, kebermanfaatan dan regularitas alam semesta merupakan “ayah” (ayat; petanda) terciptanya alam oleh pencipta-Nya, yaitu Allah swt., suatu hal yang tak hentinya ditekankan dalam al-Qur’an, seperti dalam Q.S. al-Naml (27) ayat 88. Kelima, ayat al-Qur’an (ayat qawliyyah) adalah paralel dengan ayat alam semesta (ayat kawniyyah), sama-sama sebagai “petanda” karena sama-sama bersumber dari Tuhan yang menciptakan keduanya. Para penulis abad pertengahan telah berusaha menunjukkan bahwa ada ayat-ayat tertentu di mana keterangan mengenai peristiwa pewahyuan al-Qur’an (syu`un al-nuzul, شؤن النزول) disertai dengan keterangan mengenai peristiwa penciptaan alam semesta. 1. Alam dalam hieraki wujud Tuhan Alam bukanlah suatu hal yang azali dan yang keluar dari tuhan dengan sendrinya, Artnya tampa kehendak tuhan, sebagaimana yang dikatakan oleh Plotinus dan golongan Manichaism, sebab perkataan ini berarti bahwa zat Tuhan dapat dibagi-bagi dan tiap-tiap bagian-nya menjadi terbatas dan berubah-rubah, sedangkan Tuhan adalh tunggal, tetap dan juga sempurna. Jadi semua yang wujud ini adalh dibuat dari “Tiad¬a” deng sati perbuatan bebas, dan juga hal ini dibuktikan dngan kenyataan bahwa alam ini tidak Azali (tidak dari dulu). Pertanyaan: tentang apa yang dikerjakan oleh Tuahan, sebelum ada penciptaan seperti yang dikatakan oleh Plotinus dan golongan Manichaism, tidak ada gunanya karena kehendak Tuhan Azali, dan Perbuatanya juga Azali, tampa diraukan lagi. Pengertian “Sebleum” dan “Sesudah” Hanya terdapat pada Mahluk-mahluk yang diperbuatnya, karena “zaman” baru terdapat dengan adanya alam, dengan pengertian bahwa apa yang dinamakan zaman ialah bilangan gerak, sedangkan bilangan adalah Bertru-trut (ada yang dahulu ada yang belakang) dan apa yang bertrut-turut berarti tidak azali, dan mesti berhingga. Karena itu zaman pasti dapat dihitung an bagaimanapu juga kita diperkirakan jumlah bagi zaman, namun jumlah itu juga terbatas. Dengan pertanyaan tadi, mengaapa mereka tidak bertanya mengenai “mengapa Tuhan menciptakan alam ini dalm tempat ini, an tidak diciptakanya ditempat lain.? Sebenarnya tidak adatempet tampa ada alam, segaimana tidak ada zaman tampa alam. Imaginasi saja yag menyangka ada zaman dan tapa yang terpisah kedua-duanya dari alam. Jadi mengatakan azalinya alam, maskipun mengakui adanya penciptaan, berlawanan dengan akan, sebagaimana juga berlawanan denganwahyu. Apa yang menyebabkan Plotinus dan golongan Manichaism, mengatakn abahwa penciptaan dengan kemauan tidak terdaat pada Tuhan, Karena ia perkiraanya bahwa dengan demikian berarti Tuhan mempunya penghitungan, dan penghitungan ini menimbulkan perubahan pada Tuhan dan menurunkan Martabat dari Tuhan itu sendri, sehingga Tuhan sama dengan kita, akan tetapi sebenarnya pengitungan Tuhan berbeda penghitungannya denga Mahluk, seperti Perbedaan dengan sifat-sifat dan perbuatan-perbuatanya juga. 2. Taskhir: Implikasi Teologis Hirarki Wujud Alam vis-a-vis Manusia Landasan teologis lain yang mendasari pandangan manusia terhadap lingkungan adalah konsep al-Qur’an tentang taskhir (تسخير). Makna asal taskhir adalah: memaksa, menghina, atau kerja paksa tanpa, seperti dalam bentuk sukhriy (سخري). Kata sikhriy dalam al-Qur’an disebut sebanyak dua kali (QS. al-Mu`minun (23): 110 dan Shad (38): 63). Kata ini juga berarti hinaan. Namun, penggunaan kata sukhriy dalam QS. al-Zukhruf (43): 32, tentang pembagian kerja, tidak bermakna “menundukkan” atau berkonotasi makna yang mengandung hinaan atau ejekan, karena hubungan kerjasama adalah konteks hubungan yang saling memerlukan. Hal ini berbeda dengan kata sikhriy yang digunakan dalam konteks dialog Tuhan dengan penghuni neraka yang bermakna hinaan. Taskhir berimplikasi teologis, karena penghayatan tauhid menghendaki penegasian Tuhan selain Allah, termasuk alam, karena dalam hirarki wujud, tidak ada yang paling agung, kecuali hanya Allah. Namun, implikasi teologis tersebut tidak secara otomatis membenarkan eksploitasi alam oleh manusia melampaui batas kewajaran, hanya atas dasar anggapan bahwa alam adalah wujud yang lebih rendah daripada manusia, dan diciptakan untuk manusia. Bahkan, selain sebagai petanda kebesaran Pencipta, alam digambarkan sebagai wujud ciptaan Tuhan yang agung, seperti karena “ketundukan” (islam) dan “pengagungan” (tasbih) kepada Penciptanya. “Kalam kekhalifahan” yang berulang kali ditegaskan dalam al-Qur’an memiliki makna signifikan dalam konteks pemberdayaan manusia sebagai khalifah di muka bumi. Akan tetapi, “kalam kekhalifahan” yang mencoba menggali konsep antropologi Islam harus diimbangi dengan “kalam lingkungan” (eko-teologi—ecological theology—), atau teologi lingkungan) untuk membangun konsep Islam tentang ekologi yang berbasis asumsi-asumsi teologis yang dasar-dasarnya sebagian diuraikan di atas. Jika tidak, yang terjadi hanyalah disharmoni antara manusia dan alam, di mana alam dieksploitasi secara rakus. Eko-teologi memiliki dua pengertian yang saling menopang. Pertama, teologi yang berbasis (paradigma) lingkungan dalam pengertian rumusan-rumusan teologi dan metode-metode pengenalan Tuhan dibangun atas dasar bukti-bukti kealaman yang inderawi (sehingga mudah dipahami) dan mudah dinalar, seperti dalam beberapa contoh di atas. Konsep kosmologi al-Qur’an memiliki basis yang kuat dalam hal ini, misalnya QS. al-Waqi’ah (56) ayat 68: Apakah kamu pernah memikirkan tentang air yang kamu minum? Apakah kalian yang menurunkannya atau kamikah yang menurunkannya?, dan ayat-ayat lain yang serupa. Kedua, persoalan bagaimana implikasi teologis dalam memandang alam secara positif, sebagaimana digali oleh tokoh Islam, Isma’il R. al-Faruqi dalam Tawhid: Its Implication for Thought and Life yang menjelaskan tentang implikasi tawhid dalam pemikiran dan kehidupan. Oleh karena itu, bukan hanya persoalan “sekularisasi” fenomena-femomena alam di satu sisi, melainkan juga kesadaran tentang alam sebagai mediator, sebagai “petanda” (ayat) kebesaran Tuhan. “Di setiap sesuatu ada ‘petanda’ (ayat) yang menunjukkan bahwa Tuhan (Allah swt.) adalah esa” (fafi kulli sya`in ayah tadullu ‘ala annahu wahid). Di samping itu, banyak persoalan-persoalan teologis dalam relasi manusia-alam dalam beberapa nash yang belum dijawab secara tuntas, seperti hadits tentang wanita yang dimasukkan ke neraka dalam kasus kucing yang mati dikurung dan tidak diberi makan dan wanita pelacur Yahudi dalam kasus anjing kehausan. Persoalan lain dalam eko-teologi yang membawa kepada diskusi yang sangat penting adalah tentang “kufr lingkungan” (kufr al-bi`ah, كفر البيئة). 3. Kufr Lingkungan (Kufr al-bi`ah) Keberhikmahan (teleologis) diciptakannya alam semesta sangat ditekankan dalam ayat-ayat al-Qur’an tentang kealaman (ayat kawniyyah), misalnya dengan selalu mengaitkan keterciptaan alam semesta dengan keberadaan Penciptanya. Dalam QS. Shad (38) ayat 27-29 disebutkan: “Dan kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir. Maka celakalah orang-orang kafir itu, karena mereka akan masuk neraka. Atau, patutkah kami memperlakukan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh sama dengan orang-orang yang berbuat kerusakan di muka bumi, atau kami memperlakukan orang- orang yang bertakwa sama dengan orang-orang yang berbuat maksiat? Ini adalah sebuah Kitab yang kami turunkan kepadamu yang penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” Secara literal, ayat di atas dapat dipahami bahwa menganggap penciptaan alam semesta ini sebagai sia-sia, tidak bertujuan, atau tidak bermanfaat adalah sebuah kekufuran (kufr). Meski ayat tersebut diapit oleh ayat sebelumnya (17-26) dan sesudahnya (30-33) tentang kisah Nabi Dawud a.s., tapi pesan ayat tersebut bersifat umum, meski diturunkan dalam konteks masyarakat Arab Mekkah. Mayoritas mufassir, seperti penulis al-Jalalayn (al-Suyuthi dan al-Mahalli), Ibn Katsir, Jamal al-Din al-Qasimi, al-Zamakhsyari, al-Nawawi, dan Wahbah al-Zuhayli, mengaitkan munculnya anggapan kesia-siaan penciptaan alam semesta sebagai ciri kekufuran karena berimplikasi pada penolakan adanya kebangkitan. Begitu juga, Muhammad Asad memberi catatan kekufuran tersebut dalam pengertian: “A deliberate rejection of the belief that the universe—and, in particular, human life—is imbued with meaning and purpose leads unavoidably—though sometimes imperceptibly—to rejection of all moral imperatives, to spiritual blindness and, hence, to suffering in the life to come.” “Penolakan terhadap kebenaran” (denying the truth), karena keberhikmahan penciptaan alam semesta dalah suatu kebenaran. Pemaknaan tersebut mengingat kata al-kufr bermakna asal “menutup sesuatu”. Oleh karena itu, menganggap penciptaan alam sebagai kesia-siaan menjadi kekufuran jika berimplikasi terhadap, atau sebagai sebaliknya, sebagai implikasi dari penolakan kebangkitan. D. Kategori-Kategori Hubungan Manusia dengan Alam Khalifah: Manusia Sebagai Pemikul Tanggung-Jawab dari Tuhan Konsep tentang manusia sebagai khalifah dalam al-Qur’an (khilafah) adalah konsep-kunci dalam konteks fiqh al-bi`ah yang harus dimaknai secara tepat. Term khalifah, meski berakar dari al-Qur’an, ditafsirkan dan digunakan untuk kepentingan berbeda. Mulai dari pemaknaan antropologis-kultural sebagai konsep al-Qur’an tentang peran kultural manusia di muka bumi hingga pemaknaan politis sebagai proyek politis Islam ke depan, seperti penegakan syariat di negara-negara dunia. Dalam konteks fiqh al-bi`ah di sini, konsep khalifah relevan dalam konteks peran kultural manusia di muka bumi, termasuk dalam hubungannya dengan alam. Kata khalifah dalam bentuk tunggal digunakan dua kali dalam al-Qur’an (QS. al-Baqarah (2): 30 dan Shad (38): 26). Sedangkan, dalam bentuk jamak, kata ini digunakan empat kali dalam ungkapan khala`if (QS. al-An’am (6): 165, Yunus (10): 14 dan 73, dan Fathir (35): 39) dan tiga kali dalam bentuk khulafa` (QS. al-A’raf (7): 69 dan 74, dan al-Naml (27): 62). Khalifah makna asalnya “di belakang” yang kemudian berkembang menjadi “pengganti”. Menurut ar-Raghib, perkembangan makna ini adalah karena dalam penggunaan kontekstualnya, khalifah didudukkan sebagai pelaksana sesuatu atas nama yang digantikan. Jika mengacu kepada penggunaannya dalam QS. Shad (38) ayat 26 dalam kisah Nabi Dawud as., kekhalifahan bermakna “pengelolaan wilayah”, termasuk dalam pengertian politik. 1. Taskhir: Manusia Sebagai Pengelola Alam Sebagaimana dikemukakan, taskhir bermakna Tuhan “menundukkan” alam dengan menciptakan hukum-hukum-Nya dalam dunia fisika yang bisa dipahami dan menciptakan kemampuan intelektual manusia untuk menguasainya. Dengan pengertian seperti itu, dalam hirarki wujud, alam dianggap berada “di bawah” manusia. Pemahaman ini harus diimbangi oleh fakta “kemuliaan” semesta; seperti semesta sebagai wujud “ber-tasbih”, “menyerahkan diri kepada Tuhan” (islam), dan sebagai “ummat” seperti halnya manusia. Pemahaman teologis seperti ini seharusnya menjadi landasan cara memahami kemuliaan, karena meski manusia diberikan kemampuan berpikir, namun manusia juga bisa jatuh hingga pada tarap yang sama dengan hewan, bahkan lebih hina (ula`ika ka al-an’am, bal hum adhall). Ada dua hal yang perlu ditekankan disini. Pertama, bukan manusia dengan sendirinya yang menundukkan alam, melainkan Tuhan yang “menundukkan” alam semesta untuk manusia. Kedua, taskhir bukanlah dalam pengertian “menghinakan” sebagaimana berulang-kali dijelaskan dalam banyak ayat-ayat al-Qur’an, sebagaimana diungkapkan “Mahasuci Tuhan yang menjadikan (binatang) ini mudah bagi kami (untuk dinaiki), sedangkan kami sendiri tidak memiliki kemampuan untuk itu”. Ini ditujukan untuk membangun etika terhadap lingkungan agar terdapat harmoni manusia-lingkungan. Dengan begitu, pengelolaan alam tidak menganut “penaklukan” atau adagium “boleh melakukan apa saja asal tidak menyangkut hak orang lain”. 2. I’mar: Manusia Sebagai Pemakmur Bumi Tugas manusia sebagai khalifah tidak hanya memuat tanggung-jawab pemakmuran kehidupan manusia sebagai aktualisasi perannya di muka bumi dengan mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam, tapi juga berkewajiban memakmurkannya. Dalam Q.S. Hud (11) ayat 61, Allah swt berfirman: “Dan kepada Tsamud (diutus) saudara mereka, Shalih. Ia berkata: ‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, tidak ada sembahan bagi kamu selain Dia. Dia menjadikan kamu mampu berkembang di muka bumi dan memberikan kamu kemampuan memakmurkannya (wasta’marakum fiha), maka minta ampunlah kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku dekat lagi menerima tobat orang bertobat”. Kata ista’mara diambil dari ‘amara yang bermakna asal “kekal, masa yang panjang, dan sesuatu yang tinggi”. Ibn Katsir mengartikannya sebagai tidak hanya memanfaatkan hasil bumi, melainkan memakmurkannya (ja’alakum ‘ummaran ta’murunaha wa tastaghillunaha). Oleh karena itu, istamara mengandung pengertian “menjadikan manusia sebagai pengolah dan pemakmur bumi”, sehingga upaya untuk memakmurkan bumi dan membangun peradaban disebut i’mar atau ta’mir. Hal ini bisa dilihat dari sejarah kaum Tsamud yang disebut dalam ayat lain (QS. al-A’raf (7): 73-74) sebagai kaum yang berkuasa (khulafa`), kemampuan hidup menetap dengan membangun istana dengan mudah, dan kemampuan memahat gunung batu sebagai tempat tinggal yang menunjukkan bahwa mereka adalah kaum yang berperadaban tinggi. Menurut Mustafa Abu-Sway, i’mar tidak hanya mengandung pengertian penyebaran manusia di muka bumi dengan menempati wilayah-wilayah yang luas dan mendirikan bangunan, melainkan juga memuat aktivitas positif yang bisa menciptakan kehidupan di muka bumi menjadi makmur dengan tidak menyimpang dari ketentuan Tuhan. Jadi, ayat di atas menunjukkan keterkaitan antara penciptaan dan peran yang diharapkan dari manusia. Sayyid Quthb menghubungkan ayat di atas, meski dalam gaya penuturan kisah dan pencelaan terhadap bangsa terdahulu, Tsamud, yang telah dibinasakan, dengan tugas manusia sebagai khalifah yang menggantikan generasi mereka yang memuat sejumlah tanggung-jawab perbaikan di muka bumi. E. Maqashid al-Syari’ah Sebagai Landasan Metodologis Fiqh al-Bi`ah: Mempertimbangkan Hifzh al-Bi`ah Fiqh selain bertolak dari nash, juga mendasarkan diri atas ijtihad, sehingga sebagian produk fiqih adalah ijtihadi. Meskipun bukan merupakan pemilahan yang ketat, di samping bersifat ta’abbudi, bagian dari fiqih yang merupakan ketundukan murni, fiqih juga bersifat ta’aqquli (rasional), yaitu produk fiqih yang bertolak dari pertimbangan-pertimbangan alasan yang bisa dipahami oleh akal manusia. Hal ini terlihat jelas dari perumusan apa yang disebut sebagai al-qawa’id al-fiqhiyyah (kaedah-kaedah fiqih, legal maxims), yaitu patokan-patokan dasar dan bersifat umum yang dapat diterapkan pada kasus-kasus fiqih (juz’iyyat) yang terlingkup dalam patokan tersebut. Al-qawa’id al-fiqhiyyah dirumuskan oleh para fuqaha berdasarkan ijtihad dengan meneliti kasus per kasus fiqih (secara istiqra’i, induktif). Nilai-nilai yang ingin dicapai dalam perumusannya, menurut Muhammad al-Zarqa’, adalah menjaga ruh Islam, nilai-nilai luhur yang menjiwai pelbagai bentuk formal fiqih, semisal hak keadilan, persamaan, memelihara maslahat, menghindarkan kemudaratan, serta memperhatikan situasi dan kondisi. Ide-ide tersebut ditarik menjadi “kemaslahatan manusia” yang mengantarkan kepada formulasi kalangan ushuliyyun bahwa tujuan fiqih pada dasarnya meliputi tiga hal. Tujuan-tujuan tersebut dikenal dengan maqashid al-Syari’ah (مقاصد الشريعة) yang pertama kali dibahas oleh Imam al-Haramayn al-Juwayni (419-478 H) dalam al-Burhan, dilanjutkan oleh muridnya, al-Ghazali (w. 1111 M.) dalam al-Mustashfa, Fakhr al-Din ar-Razi (544-606 H.) dalam al-Mahshul, Sayf al-Din al-Amidi (w. 631 H) dalam al-Ihkam, ‘Izz al-Din ‘Abd as-Salam (577-660 H.) dalam Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam dan Ikhtishar al-Maqashid, muridnya, al-Qarafi (w. 684 H.) dalam an-Nafa’is, juga dibahas oleh Ibn Taimiyyah, Ibn Qayyim al-Jawziyyah (w. 751 H.), dan Ibn Sa’id ath-Thufi. Al-Syathibi adalah tokoh yang paling mendalam membahas maqashid al-Syari’ah dalam karya terkenalnya, al-Muwafaqat. Secara teologis, meskipun sebagian ulama tidak sepakat dengan pendapat bahwa perbuatan Tuhan dan taklif-Nya (perintah) bisa dijelaskan dengan motif-motif, sebagaimana ditegaskan sebagian Asy’ariyyah, al-Zahiriyyah (aliran Dawud az-Zahiri yang memahami nash-nash berdasarkan makna lahiriahnya/literalnya), Abu Ya’la, Ibn az-Zagwani dari Hanabilah, dan kalangan Jabariyyah. Namun, sebagian besar ulama mengakui mungkinnya penjelasan secara rasional terhadap motif-motif, alasan, atau hikmah-hikmah yang mendasari hukum-hukum Tuhan (ta’lil al-ahkam). Menurut Mu’tazilah, “motif-motif syari’ah” bertolak dari kemaslahatan manusia yang mendasari pertimbangan fiqih dapat diklasifikasikan menjadi tiga hal. Pertama, al-dharariyyat – الضروريات (elementer), yaitu hal-hal yang mendasar dalam pengertian bahwa pelanggaran unsur tersebut tidak hanya mengakibatkan kesengsaraan manusia, tapi menghilangkan keberadaannya. Bagian ini seperti hak hidup, hak untuk berpikir, dan hak untuk beragama. Kedua, al-hajiyyat – الحاجيات yaitu hal-hal yang menjadi kebutuhan manusia yang bersifat suplementer dalam rangka memperoleh kemudahan dan menghindarkan kesulitan, seperti keringanan (rukhshah) untuk tidak berpuasa di bulan Ramadhan bagi musafir dan orang sakit. Dalam konteks hak asasi manusia, al-hajiyyat adalah hak-hak manusia yang jika tidak dipenuhi bisa mengancam hak elementer, seperti sandang dan pangan yang layak. Ketiga, al-tahsiniyyat – التحسينيات (komplementer), yaitu keperluan untuk memperoleh kualitas hidup yang lebih baik, berdasarkan kepantasan, kebiasaan, pertimbangan rasional, dan etika. Hak-hak elementer (al-dharuriyyat) kemudian dijabarkan kepada lima hal yang terkenal dalam ushul al-fiqih sebagai “al-dharuriyyat al-khams” (lima hak dasar), yaitu secara berurutan perlindungan agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh al-nafs), akal (hifzh al-‘aql), keturunan (hifzh al-nasl), dan harta (hifzh al-mal). Karena nilai moral yang tinggi tersebut ingin dicapai oleh fiqih. Al-Syathibi (w. 790 H.) dalam al-Muwafaqat fi Ushul al-Ahkam, berkesimpulan bahwa meskipun pondasi hukum tidak ditopang secara langsung oleh nash tertentu, tapi sesuai dengan kewenangan-kewenangan (tujuan-tujuan yang ingin dicapai) syara’ dan dibenarkan oleh petunjuk umum dalil-dalil syara’ lain, maka pondasi hukum tersebut dapat dijadikan dasar yang sahih yang mendasari pertimbangan hukum. Kesimpulan al-Syathibi tersebut karena ia melihat kemaslahatan manusia yang diukur dengan pemenuhan hak-hak elementer itu sebagai tujuan perumusan hukum. Formulasi al-Syathibi adalah sebagai berikut: (Atas dasar pendahuluan ini (bahwa pertimbangan fiqih didasarkan atas al-dharuriyyat, hajiyyat, dan tahsiniyyat, penulis.) dapat ditarik makna lain, yaitu bahwa setiap pondasi (ashl) syara’ yang meskipun tidak ditunjukki dengan nash tertentu, tapi sesuai dengan kewenangan-kewenangan syara’ dan disimpulkan dari dalil-dalilnya, adalah tepat untuk dijadikan pijakan dan rujukan apabila pondasi tersebut adalah pasti dengan mempertimbangkan sejumlah dalil-dalilnya, karena tidak mesti dalil-dalil tersebut menunjuk kepada hukum secara pasti satu-persatu, tanpa memuat pengertian yang lain, sebagaimana dikemukakan, karena hal itu dianggap seperti yang tidak bisa dilakukan. Termasuk dalam pengertian ini, penerapan al-istidlal al-mursal [pengambilan keputusan hukum yang didasarkan atas atas maslahat] yang dipegang oleh Malik dan al-Syafi’i.) Menurut al-Syathibi, “kemaslahatan manusia” harus dipahami dengan menggeser dari pemahaman tentang hukum yang sekadar bertumpu pada ‘illah (علة) yang tercantum dalam nash (statis) ke ‘illah yang lebih dinamis yang disebutnya hikmah (حكمة). Pemahaman seperti ini menjadi penting karena hukum-hukum Islam sebenarnya disyariatkan untuk kemaslahatan. Fiqih ‘Umari (‘Umar ibn al-Khaththab) misalnya, dengan pemahaman tidak kaku berani tidak memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri di situasi krisis ekonomi yang sangat akut, dengan dasar bahwa hak pemeliharaan jiwa adalah ideal-moral yang mendasari tujuan umum fiqih. Meskipun, juga ditunjukkan oleh nash, kalangan ushuliyyun, semisal al-Syathibi, menyatakan bahwa maqashid al-Syari’ah dirumuskan karena setiap agama mengakuinya secara dharuri (tanpa melalui pertimbangan rasional mendalam). Hal itu berarti ushul al-fiqh memberikan kemaslahatan manusia yang sebenarnya bersifat universal (kulli). Maqashid al-Syari’ah yang dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama, pemeliharaan atau perlindungan agama (hifzh al-din, حفظ الدين). Al-Qur’an dengan sangat jelas menyatakan hak beragama sebagai kebebasan untuk memilih: “Tidak ada paksaan dalam agama, karena telah jelas kebenaran dari kesesatan” (Qs. al-Baqarah (2): 256). Kedua, pemeliharaan hidup (hifzh al-nafs, حفظ النفس). Hal ini sangat penting dalam ajaran al-Qur’an, seperti firman-Nya: Barangsiapa membunuh satu jiwa bukan karena membunuh orang lain atau melakukan kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia membunuh seluruh manusia, dan barangsiapa menghidupkannya, maka seakan-akan ia menghidupkan manusia seluruhnya. Ketiga, pemeliharaan atau perlindungan terhadap akal atau kebebasan berpikir (hifzh al-‘aql, حفظ العقل). Perlindungan terhadap akal bertolak dari kenyataan banyaknya ayat al-Qur’an yang mendorong manusia untuk menggunakan akalnya. Bertolak dari motif syari’ah inilah, Islam misalnya, melarang muslim meminum minuman yang memabukkan. Perlindungan terhadap akal pikiran, jika ditarik pesan ideal-moralnya lebih jauh, sebenarnya adalah perlindungan hak berpikir dan berpendapat, menyampaikan pendapat, dan hak mendapatkan pendidikan yang layak. Keempat, pemeliharaan atau perlindungan terhadap keturunan (hifzh al-nasl, حفظالنسل ). Jaminan atas hak ini, antara lain, terlihat pada larangan zina. Karena menyangkut pula hak atas perlindungan harga diri (al-‘irdh). Islam dalam hal ini misalnya, memberlakukan proses peradilan yang ketat dalam kasus tuduhan zina (qadzaf) dengan menghadirkan empat orang saksi. Kelima, pemeliharaan atau perlindungan terhadap harta atau hak berusaha dan mendapatkan kesejahteraan (hifzh al-mal, حفظ المال). Hak ini meliputi pula hak untuk memiliki, hak keamanan berusaha, dan hak untuk berkompetisi usaha, meskipun Islam, di sisi lain, menekankan ada dimensi sosial dalam hak-hak individual, seperti larangan ihtikar (menimbun produk agar berpengaruh pada kenaikan harga). Dalam fiqih, perlindungan terhadap hak ini, misalnya, diwujudkan dalam bentuk larangan mencuri dan merampok. “Kemaslahatan manusia” sebagai titik-tolak apa yang disebut “hikmah”, bukan sekadar ‘illah, dianggap oleh para ushuliyyun terwakili dengan dharuriyyat (dengan lima atau enam unsurnya), hajiyyat, tahsiniyyat, atau mukammilat yang menjadi prinsip umum. Namun, menurut al-Jabiri, hak dan kemaslahatan manusia dapat bergeser sesuai dengan logika dan tuntutan zamannya. Al-Jabiri, misalnya, mencontohkan perluasan hal-hal yang elementer (dharuriyyat) dengan: hak kebebasan berpendapat, hak kebebasan afiliasi politik, hak memilih penguasa dan menggantinya, hak mendapatkan kerja, sandang, pangan dan papan, hak pendidikan, hak pengobatan, dan hak-hak lain dalam hubungan warga negara dan penguasa dalam kondisi kekinian. Selama ini, pemeliharaan atau perlindungan terhadap lingkungan (hifzh al-bi`ah, حفظ البيئة) tidak disebutkan dalam hal-hal yang elementer (dharuriyyat) yang menjadi dasar pertimbangan hukum. Mungkinkah kategori ini dimasukkan sebagai hal-hal yang elementer, sebagaimana ditawarkan akhir-akhir ini mengingat krisis lingkungan yang semakin parah. Pertama, kita perlu menjelaskan bagaimana nalar dalam pertimbangan yang mendasari peletakkan maqashid al-Syari’ah sebagaimana diinisiasi oleh para ushuliyyun. Selanjutnya melihat keberlakuan nalar seperti dalam hifzh al-bi`ah dengan tujuan agar tawaran kita tidak hanya memiliki dasar pertimbangan yang rasional dalam konteks sekarang, melainkan juga memiliki “justifikasi historis” (diperlukan hingga batas tertentu). Imam al-Syathibi adalah ulama ushul yang paling representatif tentang hal ini. KH. M. Ali Yafie dalam bukunya, Menggagas Fiqih Lingkungan Hidup, memang telah menjelaskan hifzh al-bi`ah sebagai komponen yang mendesak untuk dimasukkan ke dalam persoalan kulliyyat, sehingga menjadi al-kulliyyat al-sitt (enam komponen kehidupan dasar manusia), dengan catatan bahwa hifzh al-‘irdh (kehormatan) diintegrasikan ke dalam hifzh an-nafs. Tapi, Ali Yafie belum menjelaskan dasar-dasar pertimbangan yang cukup sebagaimana halnya al-Syathibi. Berikut patokan al-Syathibi dalam menetapkan tujuan syari’ah sebagai perbandingan. Dalam pandangan al-Syathibi, cara mengetahui tujuan-tujuan syariah (maqashid al-Syari’ah) adalah melalui nalar. Namun, nalar yang dimaksud di sini dari segi klasifikasi rasional dipahami berbeda-beda dan bisa dibagi menjadi tiga macam. Namun, metode yang paling tepat, menurutnya, adalah metode pemahaman tujuan syari’ah yang mencari keseimbangan antara teks dan makna (النص–المعنى) atau keseimbangan antara tektualis kalangan Zhahiriyyah dan substansialis kalangan Bathiniyyah dan kalangan rasionalis, yaitu: a. Melalui adanya perintah dan larangan yang tidak dilatarbelakangi oleh suatu sebab, melainkan perintah atau larangan begitu saja dan ungkapannya jelas (mujarrad al-amr wa an-nahy al-ibtida`i at-tashrihi, مجردالامر والنهي الابتدائي التصريحي)). b. Mempertimbangkan alasan-alasan atau sebab-sebab (‘illat) pada perintah dan larangan, misalnya perintah nikah yang dimaksudkan untuk meneruskan keturunan. ‘Illat tersebut dipahami melalui cara-cara yang dijelaskan dalam ushul fiqih (masalik al-‘illah). Jika tidak bisa diketahui dengan cara-cara tersebut, maka mesti tidak boleh mengeluarkan pendapat (tawaqquf) dan harus disertai dengan sikap; Pertama, kita tidak boleh melampaui batas pengertian yang dinyatakan dengan nash tentang hukum tertentu, karena melampaui batas tersebut tanpa mengetahui ‘illat berarti memutuskan tanpa alasan, Kedua, bahwa yang menjadi dasar bagi hukum-hukum yang ditetapkan adalah ketidakbolehan hukum-hukum tersebut melebihi wilayahnya, sampai maksud syari’ melewati wilayah tersebut bisa diketahui. Sikap pertama adalah tawaqquf tanpa bisa memastikan bahwa melebihi batas yang diperkirakan itu bukan yang dimaksud, sedangkan sikap kedua disertai kepastian bahwa hal itu tidak dimaksud. 1. Bahwa Tuhan dalam menetapkan hukum, baik yang terkait dengan kebiasaan/ adat maupun ibadat, mempunyai dua tujuan: tujuan-tujuan asal (al-maqashid al-ashliyyah, المقاصد الأصلية) dan tujuan-tujuan pendukung (al-maqashid al-tabi’ah, المقاصدالتابعة). Contoh: shalat pada dasarnya dimaksudkan untuk menghinakan diri di hadapan Tuhan dan mengingat-Nya (QS. Thaha (20): 14, al-Ankabut (29): 45). Namun, shalat juga memiliki fungsi pendukung, seperti untuk menghindarkan diri dari perbuatan keji dan munkar, sarana istirahat dari kelelahan setelah beraktivitas (sebagaimana diriwayatkan dalam hadits), meminta rezeki kepada Tuhan melalui shalat (QS. Thaha (20): 132), media memohon agar segala keinginan terwujud, seperti dalam shalat hajat, dsb.) Tolok ukur kebenaran tujuan seperti itu adalah jika tujuan-tujuan itu akan memperkuat tujuan asal ibadah dan tidak mengurangi atau menghilangkan sama sekali keikhlasan kepada Allah swt., maka dapat dikategorikan sebagai tujuan-tujuan pendukung (al-maqashid al-tabi’ah) yang dibolehkan. Namun jika sebaliknya, maka hukumnya tidak boleh. Hubungan antara tujuan-tujuan asal dengan tujuan-tujuan pendukung adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendukung menguatkan tujuan asal; (2) tujuan pendukung menghilangkan tujuan asal [bertentangan dengan tujuan syariah], (3) tujuan pendukung tidak menguatkan tujuan asal, juga tidak menghilangkannya, yang terjadi pada persoalan-persoalan yang sudah menjadi aktivitas sehari-hari (adat). Konsep tentang tujuan pendukung berkaitan dengan apa yang disebut “bid’ah” (inovasi). Menurut al-Syathibi, ada tiga kemungkinan jawaban: (1) bid’ah berarti melakukan apa yang tidak disebut dalam nash untuk dilakukan, atau (2) meninggalkan apa yang dibolehkan untuk dilakukan, atau (3) berarti melakukan sesuatu yang tidak ada nash untuk membolehkannya, atau meninggalkan sesuatu yang dibolehkan melakukannya, atau di luar semua itu. Contoh pertama: sujud syukur menurut Malik, karena tidak dalil yang menyuruh melakukannya, contoh kedua: puasa dengan meninggalkan berkata-kata dan mujahadat al-nafs dengan meninggalkan makanan-makanan tertentu, dan contoh ketiga: mewajibkan puasa dua bulan secara berturut-turut dalam kasus zhihar bagi pelakunya yang sudah memperoleh budak. Jenis ketiga bertentangan dengan syariah. Sedangkan dua jenis pertama pada hakikatnya melakukan sesuatu yang tidak ada nash yang menyatakan bahwa hal itu disuruh untuk dikerjakan atau ditinggalkan, sehingga tidak bisa diketahui bahwa hal itu bertentangan dengan tujuan syariah atau bertentangan dengan yang disyariatkan. Karena tidak disebut dalam nash dan tidak bisa dipastikan sesuai atau bertentangan dengan syariat, maka tujuan (ma’na) yang dicapai diukur dengan al-mashalih al-mursalah, yaitu yang tidak ada nashnya, namun memiliki kemanfaatan. Sesuatu yang “didiamkan” (tidak disebutkan, maskut) tidak berarti bertentangan dan juga tidak berarti bahwa Tuhan memiliki tujuan lain daripada tujuan perbuatan itu. Oleh karena itu, persoalan ini diukur dengan al-mashalih al-mursalah, jika sesuai diterima, jika tidak, ditolak. Yang sesuai dengan standar ini dikategorikan sebagai “sesuatu yang diinovasi, namun memiliki tujuan yang baik” (al-muhdatsat al-mahmudah fi al-ma’na), karena tidak ada celaan atau pujian, karena tidak nash yang mencela atau memuji. 2. Cara lain untuk mengetahui tujuan syariah adalah diamnya (tidak adanya nash, baik al-Qur’an maupun hadits) yang memberikan petunjuk tentang sesuatu, baik yang berkenaan dengan persoalan keseharian (adat) maupun persoalan ibadat, tapi masih bisa dipahami adanya makna atau tujuan yang ingin dicapai. Mengetahui tujuan syariah melalui “diamnya” nash-nash keagamaan tersebut dibagi dua. Pertama, “diamnya” nash-nash tersebut disebabkan memang tidak ada alasan yang menghajatkan untuk dijelaskan, juga tidak ada faktor-faktor pendorongnya, seperti kejadian-kejadian yang terjadi pasca-wafat Nabi Muhammad saw., seperti pengumpulan al-Qur’an dan kodifikasi ilmu-ilmu Islam. Kejadian-kejadian (inovasi-inovasi) ini tidak ada pada masa Rasulullah saw. karena memang tidak ada faktor-faktor yang mendorongnya. Setelah hal itu terjadi, para ahli syariah sibuk memahaminya dan mengembalikannya ke patokan-patokan universalnya (kulliyyah). “Diamnya” nash-nash tentang hal itu bukan berarti tidak ada tujuan, melainkan karena tidak ada faktor pendorong. Tujuan-tujuannya bisa dipahami melalui cara ketiga sebagaimana disebutkan, yaitu termasuk sesuatu yang tidak ditunjuki oleh nash dan tujuannya diketahui melalui pemahaman terhadap nash (seperti tujuan-tujuan nikah). Kedua, tidak ada nash yang menjelaskan, tapi terdapat faktor yang mendorongnya. Tidak adanya nash yang menjelaskan hukumnya karena kejadian yang muncul tersebut adalah penambahan/ inovasi/ “bid’ah” (dalam pengertian generik) pada zaman tertentu terhadap apa yang tidak disebut syariah. “Diamnya” nash tersebut seakan menjadi nash bahwa tidak ada tambahan dalam syariat. Berkaitan dengan konsiderasi-konsiderasi di atas, terhadap pemeliharaan atau perlindungan lingkungan kita bisa menetapkan. Pertama, perintah untuk memelihara lingkungan, dan sebaliknya, larangan merusak lingkungan ditemukan dengan jelas dalam ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi. Ancaman bagi perusak lingkungan (mufsidin) berulang-ulang dinyatakan dalam al-Qur’an. Bahkan, sebagaimana dijelaskan, eksistensi alam sering digandengkan dengan ide tawhid, sehingga perintah atau larangan menjadi bermuatan teologis. Kedua, di samping adanya perintah dan larangan tersebut, dalam al-Qur’an dan hadits juga ditemukan perintah-perintah dan larangan-larangan terhadap hal-hal tertentu yang dimaksudkan sebagai perlindungan terhadap lingkungan, seperti menebang pohon secara sembarangan dan tanpa didasari oleh kepentingan yang jelas dan benar. Hal ini dimaksudkan sebagai pemeliharan kelestarian lingkungan, yang termasuk di dalamnya pemeliharan keberlangsungan pemenuhan kebutuhan manusia. Ketiga, berkaitan dengan tujuan-tujuan asal (al-maqashid al-ashliyyah) dan tujuan-tujuan pendukung (al-maqashid al-tabi’ah), jika fiqh al-bi`ah ditempatkan sebagai kajian tersendiri dalam sistematika fiqih di antara kajian-kajian lain, maka tujuan pemeliharaan lingkungan menjadi prioritas (al-ashliyyah), karena meskipun didasarkan atas dalil-dalil normatif dari al-Qur’an dan hadits, fiqh al-bi`ah yang mengatur regulasi perlindungan lingkungan lebih merupakan human endeavor yang tergantung pada kreativitas ijtihad manusia, atau disebut dalam ushul al-fiqh “dalam wilayah tradisi-tradisi” (‘adat). Sedangkan, patokan dalam tradisi adalah tujuan (al-ashl fi al-‘adat al-iltifat ila al-ma’ani). Dengan demikian, dalam konteks seperti itu, tujuan pemeliharaan lingkungan (hifzh al-bi`ah) merupakan tujuan asal. Di sisi lain, fiqh al-bi`ah dibangun di atas ajaran-ajaran “lama” fiqih, antara lain tentang ibadah, seperti fiqih thaharah. Sedangkan, dalam persoalan ibadah, berlaku kaedah bahwa yang dominan dalam ibadah adalah penghambaan diri kepada Tuhan (al-ashl fi al-‘ibadat al-ta’abbud). Jika fiqh al-bi`ah berkaitan dengan persoalan ibadah, tujuan pemeliharaan lingkungan menjadi tujuan pendukung, seperti tujuan berwudhu. Oleh karena itu, pemeliharaan lingkungan dalam konteks tertentu merupakan tujuan asal, namun dalam konteks lain merupakan tujuan pendukung. Keempat, dalam hal persoalan al-maskut ‘anhu (sesuatu yang tidak dijelaskan oleh nash, tapi memiliki kemaslahatan), tidak hanya karena banyaknya nash yang secara jelas menempatkan pemeliharaan lingkungan sebagai tujuan, tapi juga ayat-ayat lain, meski di luar tema lingkungan, yang menegaskan pentingnya pemeliharaan lingkungan, seperti dibuktikan oleh al-Syathibi ketika mendiskusikan tentang mubah. Menurutnya, kebolehan tidak bersifat mutlak, karena makna yang tersimpan di balik ayat-ayat yang mencela kehidupan konsumerisme duniawi yang sia-sia (la’b dan lahw). Ini adalah “teks bisu” yang berkaitan dengan larangan eksploitasi alam yang berada di luar keperluan yang mendesak, tapi didasarkan oleh keserakahan. Tujuan ini adalah maskut ‘anhu. Prinsip yang mendasari pertimbangan terakhir adalah kemaslahatan manusia. Dalam mazhab Maliki, suatu hal yang meski tidak ditetapkan oleh nash secara eksplisit, tapi memiliki kemanfaatan adalah dianjurkan, bahkan wajib, atas dasar tujuannya yang tepat (al-muhdatsat al-mahmudah fi al-ma’na). Apalagi, jika pemeliharaan lingkungan terkait dengan pelaksanaan kewajiban, maka memelihara lingkungan menjadi wajib, karena kaedah: “sesuatu yang bisa menentukan kesempurnaan pelaksanaan suatu kewajiban akan menjadi wajib pula” (ma la yatimmu al-wajib illa bihi, fahuwa wajib, مالايتم الواجب الابه فهو واجب) dan “sarana memiliki status hukum yang sama dengan perbuatan yang menjadi tujuan” (lil wasa`il hukm al-maqashid, حكم المقاصد للوسائل). Sekali lagi, kedua kaedah ini adalah tepat atas dasar anggapan jika pemeliharaan lingkungan hanya menjadi pelengkap ibadah, atau dari sudut pandangan fiqih ibadah. Sebaliknya, jika pemeliharaan lingkungan menjadi isu krusial, maka status hukumnya bukan sebagai pelengkap, melainkan sebagai tujuan yang memiliki dasar-dasar nash, sebagaimana halnya juga ibadah. F. Catatan Penutup Dalam paradigma Islam filsafat alam bermuara kepada hubungan antara Tuhan dan manusia yang memujud dalam pemeliharan alam atau lingkugan hidup. Dr. Sayed Sikandar Shah Haneef, seorang asisten guru besar pada Jurusan Fiqih dan Ushul Fiqih di International Islamic University Malaysia (IIUM) mengatakan: “The Muslim academia must articulate a comprehensive perspective on the issue of environmental law from the Islamic point of view, because if the jurists of the past, like al-Maqdisi, could prepare a comprehensive Bill of Legal Rights of Animals, today’s scholar would definitely have to have one manual on environmental protection.” Fiqh al-bi`ah, dengan demikian, adalah agenda yang sangat mendesak, apalagi kerusakan lingkungan sekarang merupakan isu global dan problem yang akut. Agenda dimaksud adalah membentuk rancang bangun keilmuan fiqh al-bi`ah dari kerangka-kerangka dasarnya, seperti landasan teologi, membuka “kearifan lama” turats kita, baik dalam teks-teks al-Qur’an dan hadits, maupun produk ijtihad fuqaha` sambil dilandasi oleh kesadaran bahwa produk-produk pemikiran fuqaha` muncul dari world-view yang dibentuk oleh kondisi sosiologis, historis, intelektual, maupun politis. Tidak semua pemikiran dalam khazanah fiqih lama menyediakan kearifan, seperti fiqih diskriminatif terhadap non-muslim dalam al-Muhadzddzab sebagaimana dicontohkan di atas. Oleh karena itu, “melabuhkan satu pemikiran tersebut dalam ruang dan waktu” adalah memahami kondisi-kondisi yang membentuknya, selanjutnya dikritisi. Sedangkan, bagian dari fiqih lama yang menyediakan kearifan membentuk konstruksi fiqh al-bi`ah yang menyediakan kearifan ekologis Islam. Meskipun fiqh al-bi`ah harus tumbuh dari tradisi fiqih, kompleksitas persoalan ekologi meniscayakan fiqih yang didekati dengan pendekatan multi-disipliner, agar fiqih tidak menjadi disiplin ilmu keislaman yang “mengekspansi” seluruh bidang-bidang kehidupan yang “bukan rumahnya”, seperti kecenderngan penggunaan “fiqih” untuk banyak aspek: dari fiqh al-thaharah, fiqh al-zakah, dan fiqh al-hajji hingga fiqh al-jihad, fiqh al-da’wah, dan fiqh al-tarbiyah. Pergeseran tersebut menjadi peluang yang menantang jika diikuti oleh keniscayaan menggeser paradigma epistemologinya (nuzhum al-ma’rifah) yang menentukan perubahan hukum. G. Daftar Pustaka Abu-Sway, Mustafa. Towards an Islamic Jurisprudence of the Environment (Fiqih al-bi`ah fil-Islam). http://www.homepages.iol.ie/~afifi/Articles/ environment.htm. Ad-Dimasyqi, Taqiy al-Din Abu Bakr bin Muhammad al-Husyani al-Hishni. t.t.h. Kifayat al-Akhyar fi Hall Ghayat al-Ikhtishar. Jakarta: Nur Asia. Al-Asymawi, Muhammad Sa’id. 2004. Ushul al-Syari’ah, diterjemahkan oleh Luthfi Thomafi. Yogyakarta: LkiS. Al-Ishfahani, Ar-Raghib. 1992. Mufradat Alfazh al-Qur`an. Beirut: Dar al-Syamiyyah dan Damaskus: Dar al-Qalam. Al-Jabbar, ‘Abd. t.t.h. al-Muhith bi al-Taklif, ed. ‘Umar al-Sayyid ‘Azmi. Cairo: al-Mu’assasat al-Mishriyyat al-‘Ammah li al-Ta’lif wa al-Inba’ wa al-Nasyr. Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. 1993. Bun-yat al-‘Aql al-‘Arabi: Dirasah Tahliliyyah Naqdiyyah li Nuzhum al-Ma’rifah fi al-Tsaqafat al-‘Arabiyyah. Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi al-‘Arabi. Al-Jabiri, Muhammad ‘Abid. 2001. al-Din wa ad-Dawlah wa Tathbiq al-Syari’ah, terj. Mujiburrahman. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Al-Maliki, Ahmad al-Shawi. 1993. Khasyiyat al-‘Allamah ash-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn, edisi Shidqi Muhammad Jamil. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Munawwar, Said Aqil Husin. Al-Qawa’id al-Fiqihiyyah dalam Perspektif Hukum Islam, dalam al-Jami’ah: Journal of Islamic Studies, Yogyakarta, IAIN Sunan Kalijaga, no. 62/XII/1998. al-Qasimi, Jamal al-Din. 2003. Tafsir al-Qasimi al-Musamma bi Mahasin at-Ta`wil. Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah. Al-Suyuthi. t.t.h. al-Asybah wa al-Naza’ir fi al-Furu’. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Syirazi, Abu Ishaq Ibrahim bin ‘Ali ibn Yusuf al-Fayruzabadi. t.t.h. al-Muhadzdzab fi Fiqih al-Imam al-Syafi’i. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Yawbi, Muhammad Sa’d ibn Ahmad ibn Mas’ud. 1998M / 1418H. Maqashid asy-Syari’at al-Islamiyyah wa ‘Alaqatuha bi al-Adillat al-Syar’iyyah. Mekkah: Dar al-Hijrah li al-Nasyr wa al-Tawzi’. Al-Zamakhsyari, t.t.h. al-Kasysyaf ‘an Haqa`iq al-Ta`wil wa ‘Uyun al-Aqawil fi Wujuh al-Ta`wil. Beirut: Dar al-Fikr. Al-Zuhayli, Wahbah. 1991. al-Tafsir al-Munir fi al-‘Aqidah wa al-Syari’ah wa al-Manhaj. Beirut: Dar al-Fikr al-Mu’ashir. An-Nadawi, ‘Ali Ahmad. 1994. al-Qawa’id al-Fiqihiyyah: Mafhumuha, Nasy’atuha, Tathawwuruha, Dirasat Mu’allafatiha, Adillatiha, Muhimmatiha, Tathbiqatiha. Damaskus: Dar al-Qalam. An-Nawawi, 2005. Marah Labid. Beirut: Dar al-Fikr. AsmoroAchmadi, FilsafatUmum, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005. Ayaz, Kibla et. al. 2003. Conservation and Islam. Pakistan: World Wide Fund for Nature. Banjarmasin Post, 18 Agustus 2007 Baso, Ahmad. 1999. Civil Society versus Masyarakat Madani: Arkeologi Pemikiran “Civil Society” dalam Islam Indonesia. Bandung: Pustaka Hidayah. Berry, James F. dan Mark S. Dennison. 2000. The Environmental Law and Compliance Handbook. New York: McGraw-Hill. Bruinessen, Martin van. 1995. Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia. Bandung: Mizan. Hallaq, Wael B. 1997. A History of Islamic Legal Theories: an Introduction to Sunni Usul al-Fiqh. Cambridge: Cambridge University Press. Hanafi, A, Filsafat skolastik, Jakarta: Pustaka Alhusna, t.t. Haneef, Sayed Sikandar Shah. 2002. Principles of Environmental Law in Islam, dalam Arab Law Quarterly. Hidayat, Komaruddin. Taqdir dan Kebebasan, dalam Muhammad Wahyuni Nafis (ed.). 1996. Rekonstruksi dan Renungan Religius Islam. Jakarta: Paramadina. Karim, Fazlul. 1994. Misykat al-Mashabih. New Delhi: Islamic Book Service Khallaf, ‘Abd al-Wahhab. 1978. ‘Ilm Ushul al-Fiqh. Beirut: Dar al-Qalam. Marbyanto, Edy. et.al. (ed.), 2001. Menyingkap Tabir Kelola Alam: Pengelolaan Sumberdaya Alam Kalimantan Timur dalam Kacamata Desentralisasi Kalimantan Timur: Aliansi Pemantau Kebijakan Sumberdaya Alam [APKSA] Kalimantan Timur. Mas’udi, Masdar F. Hak Azasi Manusia dalam Islam, dalam E. Shobirin Nadj dan Naning Mardiniah (ed.), 2000. Diseminasi Hak Asasi Manusia. Jakarta: CESDA-LP3ES. N. Atiyeh, George, Al-Kindi tokoh filosof muslim, Bandung: Salman Institut Teknologi, 1983. Nasution, Hasyimsyah, Filsafat islam, Jakarta: Gaya Media Pertama 1999. Netton, Ian Richard. 1989. Allah Transcendent: Studies in the Structure and Semiotics of Islamic Philosophy, Theology, and Cosmology. Inggris: Curzon Press. Potret Keadaan Hutan Indonesia. 2001. Jakarta: Forest Watch Indonesia [FWI] dan Global Forest Watch [GFW]. Quthb, Sayyid. t.t.h. Fi Zhilal al-Qur`an. Beirut: Dar al-Syuruq. Rahman, Fazlur, 1982. Islam and Modernity: Transformation of an Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chicago. Rahman, Fazlur. 1983. Major Themes of the Qur’an, diterjemahkan oleh Anas Mahyuddin. Bandung: Penerbit Pustaka. Shihab, Alwi. 1998. Islam Inklusif. Bandung: Mizan. Tibi, Bassam. 1998. The Challenge of Fundamentalism: Political Islam and the New World Disorder. Berkeley, Los Angeles, dan London: University of California Press. Wehr, Hans. 1971. A Dictionary of Modern Written Arabic. Wesbaden: Otto Harrassowitz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar